"Ini pasti Bibi" gumamku sambil menghapus air mata dari pipiku.
"Makan siang dibawah sudah Bibi siapkan, Non. Papa, Mama, dengan Non Rini sudah menunggu dibawah" Ucap Bi Maryam saat pintu kamarku terbuka.
"Oke Bi, sebentar lagi aku kebawah, kok" ujarku sambil tersenyum ramah kepada Bibi.
Bi Maryam memang satu-satunya orang dirumah yang peduli denganku. Saat aku sakit, hanya dia yang sibuk merawatku, saat aku sedih hanya dia yang menghiburku. Papa dan Mama hanya sibuk dengan pekerjaan mereka. kak Rini juga sibuk dengan urusannya. Papa, Mama juga tampaknya hanya peduli dengan kak Rini. Dia selalu dipuji sama Papa, disayang sama Mama, juga dipuji oleh tamu-tamu yang biasa datang kerumahku. Tampaknya aku bukanlah apapun dimata mereka.
"Wuiih..., udah pada ngumpul ternyata dibawah. Kayaknya masakan enak" ujarku sembari menarik kursi dari meja makan.
"Udah datengnya telat, gak sopan pula!" sahut Papa dengan nada ketus.
"Kamu gausah kayak anak kecil gini dong sikapnya!" timpal kak Rini.
"Kamu tuh udah gede, sopan dikit dong sama kita" kata Mama.
Hatiku terasa sakit mendengar ucapan mereka. Aku mendorong kursi dengan agak keras sambil berlari ke kamar. Papaku menegurku, tapi aku sudah tidak peduli lagi. Aku tetap berlari menuju kamar dan menguncinya. Aku menangis didalam kamar. Diluar ternyata masih hujan, akupun kembali duduk ditepi jendela. Ditengah udara dingin, perutku sakit. Sepertinya asam lambungku kambuh. Aku membiarkannya karena masih tersinggung dengan sikap mereka padaku. Seharian aku mengurung diri dikamar, tidak ada yang peduli padaku. Hanya Bi Maryam yang sesekali mengetuk pintu, khawatir dengan keadaanku.
Hari sudah pagi, aku segera mandi dan bersiap pergi kesekolah. Kudengar tidak ada suara dari bawah. Mungkin mereka sudah berangkat ketempat kerja. Mereka memang biasa berangkat lebih pagi dariku. Dan Kak Rini diantar bersama mereka. Sedangkan aku biasa naik angkutan umum kesekolah, atau dijemput pacarku kak Andre, kak Andre satu kuliah dengan kakakku tetapi berbeda fakultas. Sehingga mereka tidak saling kenal. Lalu aku turun kebawah dan kulihat Bi Maryam sedang menyiapkan bekal untukku.
"Makasih ya, Bi. Rana sayang banget sama Bibi" ucapku.
"Iya, Non. Bibi juga sayang sama Non Rana. Kemaren kok kamarnya dikunci, non? Sedih lagi ya?" tanya Bi Maryam sambil menutup kotak bekalku.
"Ya begitulah, Bi. Papa Mama kayaknya udah gak sayang sama aku" kataku sambil menerima kotak bekalku dan memasukkannya kedalam tas.
"Hssssh, jangan bilang begitu, Non. Yaudah, mending Non Rana berangkat, ntar kesiangan lagi kayak waktu itu. Tadi Bibi lihat ada yang nungguin Non Rana tuh. Namanya Andre, katanya mau jemput Non Rana. Semangat ya sekolahnya. Biar Pinter" ujar Bi Maryam. Ucapannya membuatku sedikit tenang. Akupun berpamitan dengannya. Aku teringat dengan kak Andre. Tidak biasanya dia menjemputku pagi ini, atau mungkin jadwal kuliahnya sedang kosong. Aku bergegas pergi kedepan gerbang.
"Pagi cantik, udah siap sekolah?" sapa kak Andre sambil membuka kaca mobil. Akupun masuk kemobilnya.
"Nggak biasanya, nih. Jadwal kuliah lagi kosong ya, kak?" tebakku.
"Kamu itu udah cantik, pinter nebak pula" goda kak Andre sambil mencubit pelan bahuku
"Nanti sore abis pulang sekolah ada acara, nggak? Kalo gak ada, aku jemput kamu trus kita makan di restoran deket sekolahmu ya?" pinta kak Andre.
"Mmmmm..., ada nggak ya?" ujarku dengan nada menggoda.
"Yaudah, pokoknya nanti aku jemput didepan sekolah. Titik." Ujar kak Andre. Dia memang tau, kalau setelah pulang sekolah aku tidak ada jadwal apapun. Terlebih lagi, hari ini adalah hari terakhir aku menghadapi ujian kenaikan kelas. Setelah sampai disekolah, aku pamit dengan kak Andre.
"Hari ini ujian terakhir, ya? Mata pelajaran apa?" tanya kak Andre.
"Agak susah sih, Kak. Matematika sama Bahasa Inggris" jawabku.
"Pasti bisa, kok. Matematika kan soalnya 1+1, kalo bahasa Inggris paling soalnya ditanya 'What is your name?', ya kan?" Canda kak Andre.
"Ya enggaklah, itumah soal anak SD kali, kak" aku menimpali candaannya sambil tertawa kecil.
"Yaudah gih, sana. Semangat ya ujiannya" ujar kak Andre.
"Makasih, kak" kataku sambil membuka pintu mobil dan berlalu menuju sekolahku.
Matematika adalah pelajaran yang paling aku benci. Menghitung angka bukanlah keahlianku, itu keahlian kak Rini. Dan benar saja, aku kesulitan dalam mengerjakan soal matematika, durasi ujian tersisa 15 menit dan lembar jawabanku masih banyak yang belum terisi. Lantas, aku mengerjakan sisa soal sebisaku dan hanya bisa berdo'a untuk hasil terbaik. Setelah itu, ujian bahasa inggris dimulai. Bahasa Inggris adalah keahlianku. Aku belajar banyak dari om Franky dan kak Andre. Kini, om Franky sudah tinggal di Kanada, sedangkan kak Andre sebentar lagi akan melanjutkan beasiswa ke Amerika. Aku menyelesaikan soal bahasa Inggris dengan mudah. Saat yang kunanti-nanti telah datang. Bel pulang telah berbunyi dan akupun langsung membereskan tasku dan bergegas menuju gerbang sekolah. Tidak biasanya kak Andre mengajakku makan diluar. Akupun segera menemui kak Andre didepan gerbang.
"Hai, kak. Udah daritadi?" tanyaku pada kak Andre.
"Sebenernya sih, aku nungguin kamu dari tadi pagi disini. Soalnya aku kan gak ada jadwal kuliah. Jadi aku bosen, yaudah aku nungguin kamu aja." jawab kak Andre sambil menghidupkan mobil dan memacunya menuju restoran.
"Beneran, kak?" tanyaku agak kaget.
"Buat kamu yang paling cantik, apa sih yang nggak akan kakak lakukan?" goda kak Andre. Kali ini pipiku yang dicubit pelan olehnya.
"Gombal aja terus" ujarku sambil pura-pura cemberut.
"Yah, kok cemberut sih? Nanti tambah cantik lho" ujar kak Andre.
"Jadi selama ini aku nggak cantik, dong?" kali ini aku yang memancing kak Andre.
"Kalo biasanya kamu kan cantik banget. Kalo cemberut, jadi cantik aja" ujar kak Andre sambil tersenyum tipis. Wajahku dibuat merah olehnya. Aku hanya bisa tersenyum kecil sambil memandangi lingkungan luar.
Sesampainya di restoran, kami langsung masuk kedalam dan memesan menu kepada pelayan. Restoran ini memang agak dekat dengan sekolahku, tetapi aku tidak pernah mengunjunginya karena tidak searah dengan jalur yang biasa kulewati. Kami memesan menu dan kembali meneruskan perbincangan.
"Kak, ada apa nih ngajak aku makan direstoran? Nggak biasanya kita makan direstoran begini." Tanyaku pada kak Andre. Memang kak Andre terkenal dengan kesibukannya sehingga tidak pernah mengajakku jalan-jalan seperti sekarang.
"Ya emang kenapa? Nggak apa kan kita sesekali jalan-jalan begini?" kak Andre justru menanya balik.
"Sesekali? Ini kan yang pertama kali, kak?" ujarku meledek kak Andre.
"Oh betul juga, yha. Yaudah deh, kalau kamu mau tau. Sebenarnya, kakak ini diberi masa libur oleh kampus kakak, karena besok kakak akan terbang ke Amerika. Maaf ya, kakak baru punya waktu buat kamu hari ini. Kamu tau sendiri, kakak itu sangat sibuk di kampus. Jadi, ini hari terakhir kakak bisa ketemu sama kamu" jelas kak Andre.
"Kita masih bisa chatting lewat media sosial, kan?" tanyaku dengan raut wajah sedih.
"Iya, kamu bisa mengirimi kakak pesan kapanpun kamu mau" ujar kak Andre. Aku agak lega mendengarnya.
"Tapi...." lanjut kak Andre.
"Tapi apa kak?" tanyaku penasaran.
"Tapi kakak nggak bisa membalas chat kamu secepat yang kamu mau. Mungkin bisa 2 minggu sekali, atau bahkan sebulan sekali." jelas kak Andre.
"Sesibuk itu?" tanyaku. Air mata mulai menetes dari mataku.
"Kakak minta maaf, ya. Orang tua kakak juga memaksa kakak untuk mengambil beasiswa ini. Setelah kakak menempuh segala pendidikan disana, kakak akan segera pulang kesini." ujar kak Andre sambil menghapus air mata dari pipiku.
Tak lama, menu makanan datang. Entah kenapa, aku tidak bernafsu untuk mennyantapnya. Aku menghabiskannya perlahan-lahan sambil memikirkan kata-kata kak Andre. Setelah membayar, kita keluar restoran dan kak Andre mengantarku pulang. Tidak terasa, hari menunjukkan sudah petang. Kak Andre memutuskan untuk bergegas mengantarku pulang karena ia harus bersiap untuk kepergiannya ke Amerika.
Sesampainya dirumah kulihat mobil Papa sudah terparkir digarasi luar. Akupun cemas. Cemas akan dimarahi oleh Papa. Kak Andre segera bertanya mengapa tiba-tiba raut wajahku berubah. Akupun menceritakan semuanya kepada kak Andre
"Orang tua kakak juga bersikap seperti itu sama kakak. Tapi percaya sama kakak. Mereka hanya ingin yang terbaik. Hanya cara mereka yang salah dalam mengungkapkan tujuan mereka. Orang itu berbeda-beda sikapnya" jelas kak Andre
"Ta..." aku ingin membantah tapi kak Andre langsung menempelkan jarinya di bibirku
"Sssshhhh...., percaya ama kakak. Kamu bisa melewati semua ini" hibur kak Andre.
Aku pamit dengan kak Andre dan bergegas turun dari mobil lalu beranjak masuk kerumah dengan cemas.
Benar saja. Papa sudah menungguku diruang tamu sembari membaca koran yang tadi pagi belum sempat dibacanya.
"Dari mana kamu jam segini baru pulang?! Kamu kan harusnya pulang siang, kenapa pulangnya malah petang begini? Gausah pulang aja sekalian!" ujar Papa memarahiku.
"Kamu itu harusnya mencontoh kak Rini. Dia sedang belajar dikamarnya untuk persiapan lomba olimpiadenya. Kan kemarin Mama bilang kalau kamu itu harus bersikap dewasa. Telingamu masih bisa mendengar, kan?!" timpal Mama dari ruang keluarga.
Aku berlalu dari mereka dan bergegas menuju kamarku. Aku kembali mengunci pintu dan membiarkan asam lambungku naik karena tidak makan malam. Perutku rasanya sakit sekali, tapi tidak sebanding dengan hatiku yang tersinggung oleh ucapan mereka. 2 hari lagi Kak Rini akan menjalankan lomba olimpiade. Begitupun denganku, aku akan menjalankan lomba nasional kategori renang bersamaan dengannya. Tak sabar rasanya, ingin membuktikan bahwa aku juga pintar, aku juga bisa sehebat kak Rini. Memang, dari dulu nilai raporku selalu dibawah kak rini. Sehingga sekolahku yang sekarang adalah sekolah yang menerima siswa buangan yang tidak diterima dari sekolah-sekolah favorit di daerahku. Tapi nanti, aku akan menunjukkan bahwa aku juga mempunyai prestasi. Malam itu suasana sangat sepi, aku kembali duduk ditepi jendela memandangi pemandangan malam. Bi Maryam mengetuk pintu kamarku dan mengajakku untuk makan malam. Aku mengatakan supaya tidak diganggu sepanjang malam ini. Bi Maryam sudah mengerti dan berlalu dari kamarku. Aku teringat dengan bekal yang tadi pagi berada di tasku. Biarpun sudah dingin, tetapi masih lezat dimakan. Masakan Bi Maryam memang tidak bisa ditandingi. Setelah menyantap makan malam, aku mencuci kotak bekalku di wastafel kamar mandi. Lalu beranjak tidur.
Paginya, aku beranjak mandi dan menuju ruang keluarga untuk menonton televisi. Mamaku sedang sibuk didapur memasak menu sarapan bersama Bibi, kak Rini tampaknya belum beranjak dari kamarnya. Papa terlihat sedang mencuci mobil. Saat aku tengah menonton televisi, tampaknya Papa akan menuju gudang yang terletak di lantai 2, terletak disebelah kamarku. Tak lama kemudian, terdengar sebuah kotak yang terbanting dari arah atas.
"Rana!!" teriak Papaku yang mengagetkan seisi rumah. Mama, aku, dan kak Rini bergegas ke lantai 2.
"Ada apa, Pa?" tanya Mamaku.
"Rana dimana?!" tanya Papaku dengan nada tinggi.
"I..Iya, Pa" jawabku takut.
"Siapa yang menyuruhmu makan didalam kamar?! Sudah Papa bilang jangan makan didalam kamar! Kamu itu punya akal nggak?!" bentak Papa padaku.
"Biarin aja. Ini anak telinganya udah tuli apa, ya? Sudah pernah diberi tau tapi masih salah juga" timpal Mamaku yang ikut marah.
"Kamu itu kalo bodoh jangan keterlaluan dong. Kamu itu udah SMA, bukan anak umur 3 tahun yang masih manja! Oh iya, satu lagi, idiot!" kak Rini sekarang ikut memarahiku. Aku bergegas mengambil kotak makanku dan mencucinya didapur. Bibi yang melihatku menangis langsung menghiburku dan mencucikan kotak makanku.
"Yang sabar ya, Non Rana. Bibi ngerti perasaannya Non Rana." Ujar Bibi menghiburku
"Tapi Rana udah nggak kuat, Bi. Dikit-dikit Rana dimarahi sama mereka" aku menangis tersedu-sedu. Setelah mereka turun, aku berlari kembali ke kamar dan memutuskan untuk menceritakan semuanya ke kak Andre. Aku memutuskan untuk menelfon kak Andre
"Halo, kak." sapaku di telfon
"Iya cantik, kok nada kamu kayak orang habis nangis, sih?" tanya kak Andre
"Kakak sekarang dimana? Aku denger suara-suara bising. Kakak lagi di perjalanan?" aku justru balik menanya kak Andre
"Lho, kan kakak sudah bilang. Kakak sudah boarding ke pesawat kakak menuju Amerika" jawab kak Andre
"Kakak jadi pergi ke Amerika?" tanyaku dengan nada sedih
"Iya jadi. Kakak disana akan lama. Sekitar dua....." sambungan telfon terputus. Aku mencoba menghubunginya kembali, tetapi tidak tersambung. Aku hanya bisa melamun ditepi jendela. Melihat kearah jalan raya yang ramai kendaraan disiang hari dan menghabiskan sisa hariku di kamar.
Tidak terasa hari ini adalah hariku untuk menjalankan lomba renang. Aku segera bangkit dari tempat tidurku dan bersiap dengan segala perlengkapanku. Aku tidak mendengar suara apapun dibawah
"Pa... Ma... Kakak..." aku memanggil siapapun tetapi tidak ada yang menyahut
"Udah pergi, Non Rana. Katanya mengantar Non Rini berangkat lomba" sahut Bi Maryam dari dapur. Aku segera menuju dapur dan pamit dengan Bi Maryam
"Mereka udah gak sayang lagi ya sama aku?" tanyaku dengan nada kecewa
"Bibi juga nggak tau, Non. Yang jelas, Non Rana harus tetep semangat. Bibi do'ain nanti lombanya menang ya" ujar Bibi sambil menepuk bahu kananku
"Makasih ya, Bi. Rana sayang sama Bibi"
"Bibi juga sayang banget sama Non Rana. Hati-hati dijalan ya, non" ujar Bibi sambil mengantarku ke gerbang depan
"Tapi Rana udah nggak kuat, Bi. Dikit-dikit Rana dimarahi sama mereka" aku menangis tersedu-sedu. Setelah mereka turun, aku berlari kembali ke kamar dan memutuskan untuk menceritakan semuanya ke kak Andre. Aku memutuskan untuk menelfon kak Andre
"Halo, kak." sapaku di telfon
"Iya cantik, kok nada kamu kayak orang habis nangis, sih?" tanya kak Andre
"Kakak sekarang dimana? Aku denger suara-suara bising. Kakak lagi di perjalanan?" aku justru balik menanya kak Andre
"Lho, kan kakak sudah bilang. Kakak sudah boarding ke pesawat kakak menuju Amerika" jawab kak Andre
"Kakak jadi pergi ke Amerika?" tanyaku dengan nada sedih
"Iya jadi. Kakak disana akan lama. Sekitar dua....." sambungan telfon terputus. Aku mencoba menghubunginya kembali, tetapi tidak tersambung. Aku hanya bisa melamun ditepi jendela. Melihat kearah jalan raya yang ramai kendaraan disiang hari dan menghabiskan sisa hariku di kamar.
Tidak terasa hari ini adalah hariku untuk menjalankan lomba renang. Aku segera bangkit dari tempat tidurku dan bersiap dengan segala perlengkapanku. Aku tidak mendengar suara apapun dibawah
"Pa... Ma... Kakak..." aku memanggil siapapun tetapi tidak ada yang menyahut
"Udah pergi, Non Rana. Katanya mengantar Non Rini berangkat lomba" sahut Bi Maryam dari dapur. Aku segera menuju dapur dan pamit dengan Bi Maryam
"Mereka udah gak sayang lagi ya sama aku?" tanyaku dengan nada kecewa
"Bibi juga nggak tau, Non. Yang jelas, Non Rana harus tetep semangat. Bibi do'ain nanti lombanya menang ya" ujar Bibi sambil menepuk bahu kananku
"Makasih ya, Bi. Rana sayang sama Bibi"
"Bibi juga sayang banget sama Non Rana. Hati-hati dijalan ya, non" ujar Bibi sambil mengantarku ke gerbang depan
Hari ini, pertandingan renangku akan berlangsung. Namun sayang, semua orang yang kusayang tak ada yang mau hadir disini. Semuanya memilih hadir dilomba kak Rini, olimpiade sains. Walau sedikit kecewa, akan kubuktikan bahwa aku adalah Rana yang hebat. Akhirnya, keinginanku terwujud, aku menang dan meraih juara satu dipertandingan lomba renang nasional yang diadakan di Jakarta.
“Kita panggil, juara nasional kategori renang tahun ini. Rana Shafira dari Jakarta.” Panggil pembawa acara.
Dengan diiringi tepuk tangan meriah, aku menaiki podium kebesaranku, dan kurasakan aku sangat dihargai disini.
Setibanya dirumah, kuletakkan foto keberhasilanku diruang tengah, namun disaat kedatangan kak Rini dan yang lainnya, kulihat kemurungan disana. Dan setelah melihat foto keberhasilanku, kak Rini malah menangis dan berlari menuju kamarnya.
“Apa-apaan ini?! Kamu sengaja meledek Rini?” tanya Papa.
“Nggak pa! Maksud Papa apa, sih?” tanyaku tak mengerti.
“Rini kalah sedangkan kamu menyombongkan diri dengan memajang fotomu diruang ini” Jawab Papa yang membuatku sangat kecewa.
“Foto ini lebih bagus bila diletakkan ditempat sampah!” ucap Mama dengan nada menghina
Foto yang sangat aku harapkan menjadi penghubung agar keluargaku menyanjungku sudah dibuang. Sebuah harapan yang sejak dulu selalu kuinginkan. Karena aku selalu iri disetiap kak Rini dipuji dan disanjung oleh Papa, Mama, serta semua tamu yang pernah berkunjung kerumahku. Aku merasa terus diperlakukan dengan tidak adil disini
Hari silih berganti, dan semenjak itu pula kak Rini menjadi seseorang yang terpuruk. Aku bisa merasakan perasaannya yang tertekan karena ia kalah lomba olimpiade. Yang kutahu, kakakku ini terlihat lemah dari yang biasanya.
“Udahlah kak, gak ada gunanya ditangisin terus” ucapku menyemangati.
“Kamu pergi aja Ra, kamu senang ‘kan ngeliat aku kaya gini? Kamu senang ‘kan ngeliat aku kalah?” jawabnya dengan menangis.
“Nggak kak. Aku disini cuma mau bikin kakak semangat.” Sahutku.
“Udahlah, pergi kamu dari kamarku, pergi…” ucapnya terpotong karena akhirnya ia terjatuh tepat didepanku.
“Pa, Ma, tolong kak Rini. Kak Rini pingsan Pa!” beritahuku
“Apa? Kamu apain sih dia? Kamu kasih obat, iya?!” Tanya Papa sinis padaku.
“Aku, aku nggak berbuat apapun, Pa.” sahutku
“Pasti penyakitnya kambuh lagi Pa, cepat bawa kak Rini kerumah sakit.” Ucapku pada Papa.
Hari ini tepat seminggu sebelum ulang tahun kak Rini. Aku takut kehilangannya, kakakku yang sangat aku sayangi. Dokter bilang bahwa ginjalnya sudah benar-benar rusak. Yang aku tahu, kini ginjalnya hanya satu setelah setahun yang lalu satu ginjalnya sudah diangkat. Sedangkan aku masih mempunyai dua ginjal.
“Hanya saudara kandungnya yang ginjalnya cocok dengan Rini. Jadi usahakan dengan secepat mungkin diadakan transplantasi ginjal Pak” beritahu dokter pada Papa.
Setelah itu, aku menjadi sasaran semua orang yang menyayangi kak Rini. Semuanya memintaku untuk mendonorkan satu ginjalku padanya. Niatku memang sudah bulat bahwa aku akan mendonorkan kedua ginjalku pada kak Rini, tapi aku tak ingin ada yang tahu semuanya. Karena aku tidak mau mereka akan menyayangiku karena bersimpati denganku yang telah memberikan satu ginjal pada kakakku. Aku hanya ingin kasih sayang tulus dari mereka, entahlah bagaimana caranya agar aku mendapatkannya.
“Ah sudahlah Ra, kamu memang adik yang kejam. Hanya menyumbangkan satu ginjal saja tidak mau. Untunglah ada seseorang yang baik hati yang mau menyumbangkannya pada Rini.” Ucap Papa
“Siapa yang mendonorkan ginjalnya, Pa?” Tanya Mama.
“Entahlah, pendonor itu tidak mau diberitahu namanya. Bahkan ia memberikan dua ginjalnya dengan gratis pada Rini. Dia benar-benar berhati malaikat. Kata dokter, jadwal transplantasi akan dimulai dalam waktu 4 jam” Jawab papa.
“Andaikan kalian tahu kalau itu aku? Apakah aku akan diberi penghargaan dari Papa?” gumamku dalam hati.
Beberapa jam sebelum operasi pencangkokan dilakukan, aku pulang kerumah dan menulis sebuah surat untuk semua orang yang aku sayangi. Entahlah, aku merasa akan pergi jauh berlalu meninggalkan mereka semua. Rasanya, aku sudah sangat penat dengan hidupku sendiri. Sesudah selesai kutulis, surat itu kutaruh diatas laci disebelah tempat tidurku. Akupun berangkat menuju rumah sakit untuk segera menjalani operasi.
Setelah sampai dirumah sakit. Akupun masuk kedalam ruang operasi. Ruang ini tersasa begitu menakutkan. Semua benda yang kulihat hanyalah alat-alat operasi. Alat-alat yang terlihat menakutkan bagiku. Aku dibawa lebih dulu keruang ini, agar tidak ada yang tahu siapa aku sebenarnya. Hingga akhirnya dokter mematikan seluruh lampu dan menghidupkan lampu yang berada tepat diatas tempatku berbaring. Lalu aku dibius, dan kurasakan semuanya gelap.
Seminggu berlalu. Transplantasi organ hati berhasil. Kak Rini juga dikabarkan sudah siuman kembali 3 hari lalu dan dinyatakan untuk bisa kembali pulang kerumah
“Akhirnya kamu sembuh juga sayang. Mama khawatir banget sama kamu sejak kamu dioperasi. Untung ada pendonor itu.” Ucap Mamanya dengan penuh kasih sayang.
“Dan Happy Brithday Rini…” ucap semua orang serentak
“Makasih ya semuanya. Aku senang melihat kalian semua disini. Oiya, Rana mana ya Ma? Gak tau kenapa Rini kepikiran dia terus. Hari ini kan ulang tahunku. Kok si idiot itu gaada disini?” Sahut Rini.
“Iya ya? Mana dia Bi?” tanya Ibunya pada Bi Maryam
“Sebentar nyonya. Saya cari dikamarnya” Jawab Bi Maryam dengan berlari menuju kamar Rini. Ia mencari di kamar Rana dan hanya menemukan sepucuk surat diatas laci disebelah tempat tidurnya
Dan beberapa menit kemudian sudah tiba dengan membawa sepucuk surat.
“Ini surat dari Non Rana sebelum pergi.” Beritahu Bi Maryam.
Walau agak heran, Ibunya pun membacanya dengan agak keras.
Kalian semua harus tau, betapa aku sangat sayang dengan kalian. Mungkin dengan kepergianku, semuanya akan tenang dan tentram. Rana harap, gak aka ada lagi yang terkucilkan seperti Rana. Yang selalu menangis setiap malam. Yang selalu merindukan hangatnya kekeluargaan. Mungkin dengan kepergian ini, Rana akan tahu bagaimana kalian akan mengenangku, seperti Rana yang selalu mengenang kalian setiap malam dengan tangisan.”
Semoga kalian semua bahagia sekarang.
Salam rindu
Rana Shafira
Semua yang mendengar menangis. Mereka bertanya-tanya pada Bi Maryam dimana Rana. Namun tiba-tiba telepon rumah berbunyi.
“Iya, dengan Herman, ada apa ya?” Tanya Papanya dengan penasaran.
Dan sesaat kemudian Papanya menangis dan segera mengajak anggota keluarganya ke Rumah Sakit tempat Rini dioprasi. Dan mereka terlambat, Rana telah pergi untuk selama-lamanya. Dan menginggalkan berjuta penyesalan disetiap tangis yang jatuh. Kini, Rana telah tenang dan jauh dari ketidakadilan selama hidupnya. Walau air mata tengah menangisinya yang telah pergi untuk selama-lamanya.
“Kita panggil, juara nasional kategori renang tahun ini. Rana Shafira dari Jakarta.” Panggil pembawa acara.
Dengan diiringi tepuk tangan meriah, aku menaiki podium kebesaranku, dan kurasakan aku sangat dihargai disini.
Setibanya dirumah, kuletakkan foto keberhasilanku diruang tengah, namun disaat kedatangan kak Rini dan yang lainnya, kulihat kemurungan disana. Dan setelah melihat foto keberhasilanku, kak Rini malah menangis dan berlari menuju kamarnya.
“Apa-apaan ini?! Kamu sengaja meledek Rini?” tanya Papa.
“Nggak pa! Maksud Papa apa, sih?” tanyaku tak mengerti.
“Rini kalah sedangkan kamu menyombongkan diri dengan memajang fotomu diruang ini” Jawab Papa yang membuatku sangat kecewa.
“Foto ini lebih bagus bila diletakkan ditempat sampah!” ucap Mama dengan nada menghina
Foto yang sangat aku harapkan menjadi penghubung agar keluargaku menyanjungku sudah dibuang. Sebuah harapan yang sejak dulu selalu kuinginkan. Karena aku selalu iri disetiap kak Rini dipuji dan disanjung oleh Papa, Mama, serta semua tamu yang pernah berkunjung kerumahku. Aku merasa terus diperlakukan dengan tidak adil disini
Hari silih berganti, dan semenjak itu pula kak Rini menjadi seseorang yang terpuruk. Aku bisa merasakan perasaannya yang tertekan karena ia kalah lomba olimpiade. Yang kutahu, kakakku ini terlihat lemah dari yang biasanya.
“Udahlah kak, gak ada gunanya ditangisin terus” ucapku menyemangati.
“Kamu pergi aja Ra, kamu senang ‘kan ngeliat aku kaya gini? Kamu senang ‘kan ngeliat aku kalah?” jawabnya dengan menangis.
“Nggak kak. Aku disini cuma mau bikin kakak semangat.” Sahutku.
“Udahlah, pergi kamu dari kamarku, pergi…” ucapnya terpotong karena akhirnya ia terjatuh tepat didepanku.
“Pa, Ma, tolong kak Rini. Kak Rini pingsan Pa!” beritahuku
“Apa? Kamu apain sih dia? Kamu kasih obat, iya?!” Tanya Papa sinis padaku.
“Aku, aku nggak berbuat apapun, Pa.” sahutku
“Pasti penyakitnya kambuh lagi Pa, cepat bawa kak Rini kerumah sakit.” Ucapku pada Papa.
Hari ini tepat seminggu sebelum ulang tahun kak Rini. Aku takut kehilangannya, kakakku yang sangat aku sayangi. Dokter bilang bahwa ginjalnya sudah benar-benar rusak. Yang aku tahu, kini ginjalnya hanya satu setelah setahun yang lalu satu ginjalnya sudah diangkat. Sedangkan aku masih mempunyai dua ginjal.
“Hanya saudara kandungnya yang ginjalnya cocok dengan Rini. Jadi usahakan dengan secepat mungkin diadakan transplantasi ginjal Pak” beritahu dokter pada Papa.
Setelah itu, aku menjadi sasaran semua orang yang menyayangi kak Rini. Semuanya memintaku untuk mendonorkan satu ginjalku padanya. Niatku memang sudah bulat bahwa aku akan mendonorkan kedua ginjalku pada kak Rini, tapi aku tak ingin ada yang tahu semuanya. Karena aku tidak mau mereka akan menyayangiku karena bersimpati denganku yang telah memberikan satu ginjal pada kakakku. Aku hanya ingin kasih sayang tulus dari mereka, entahlah bagaimana caranya agar aku mendapatkannya.
“Ah sudahlah Ra, kamu memang adik yang kejam. Hanya menyumbangkan satu ginjal saja tidak mau. Untunglah ada seseorang yang baik hati yang mau menyumbangkannya pada Rini.” Ucap Papa
“Siapa yang mendonorkan ginjalnya, Pa?” Tanya Mama.
“Entahlah, pendonor itu tidak mau diberitahu namanya. Bahkan ia memberikan dua ginjalnya dengan gratis pada Rini. Dia benar-benar berhati malaikat. Kata dokter, jadwal transplantasi akan dimulai dalam waktu 4 jam” Jawab papa.
“Andaikan kalian tahu kalau itu aku? Apakah aku akan diberi penghargaan dari Papa?” gumamku dalam hati.
Beberapa jam sebelum operasi pencangkokan dilakukan, aku pulang kerumah dan menulis sebuah surat untuk semua orang yang aku sayangi. Entahlah, aku merasa akan pergi jauh berlalu meninggalkan mereka semua. Rasanya, aku sudah sangat penat dengan hidupku sendiri. Sesudah selesai kutulis, surat itu kutaruh diatas laci disebelah tempat tidurku. Akupun berangkat menuju rumah sakit untuk segera menjalani operasi.
Setelah sampai dirumah sakit. Akupun masuk kedalam ruang operasi. Ruang ini tersasa begitu menakutkan. Semua benda yang kulihat hanyalah alat-alat operasi. Alat-alat yang terlihat menakutkan bagiku. Aku dibawa lebih dulu keruang ini, agar tidak ada yang tahu siapa aku sebenarnya. Hingga akhirnya dokter mematikan seluruh lampu dan menghidupkan lampu yang berada tepat diatas tempatku berbaring. Lalu aku dibius, dan kurasakan semuanya gelap.
Seminggu berlalu. Transplantasi organ hati berhasil. Kak Rini juga dikabarkan sudah siuman kembali 3 hari lalu dan dinyatakan untuk bisa kembali pulang kerumah
“Akhirnya kamu sembuh juga sayang. Mama khawatir banget sama kamu sejak kamu dioperasi. Untung ada pendonor itu.” Ucap Mamanya dengan penuh kasih sayang.
“Dan Happy Brithday Rini…” ucap semua orang serentak
“Makasih ya semuanya. Aku senang melihat kalian semua disini. Oiya, Rana mana ya Ma? Gak tau kenapa Rini kepikiran dia terus. Hari ini kan ulang tahunku. Kok si idiot itu gaada disini?” Sahut Rini.
“Iya ya? Mana dia Bi?” tanya Ibunya pada Bi Maryam
“Sebentar nyonya. Saya cari dikamarnya” Jawab Bi Maryam dengan berlari menuju kamar Rini. Ia mencari di kamar Rana dan hanya menemukan sepucuk surat diatas laci disebelah tempat tidurnya
Dan beberapa menit kemudian sudah tiba dengan membawa sepucuk surat.
“Ini surat dari Non Rana sebelum pergi.” Beritahu Bi Maryam.
Walau agak heran, Ibunya pun membacanya dengan agak keras.
“Untuk semua orang yang sangat Rana sayang
Mungkin saat kalian baca surat ini Rana gak ada lagi disini. Rana udah pergi ketempat yang saangaat jaauh. Oya, gimana kabar kak Rini? Gak sakit lagi kan? Semoga ginjalku dapat membantumu untuk meraih semua mimpi-mimpimu yang belum terwujud.
Teruntuk Papa yang sangat akan kurindukan
Gimana Pa? Rumah kita udah tenang belum? Nggak ada yang gak sopan lagi kan? Nggak ada yang makan didalam kamar lagi kan? Oh pasti gak ada dong, ya? Ya iyalah, Rana si pembuat masalah kan udah pergi.
Teruntuk Mama yang sangat akan kurindukan juga
Ma, Rana pasti akan sangat rindu dengan teddy bear pemberian Mama lima tahun yang lalu. Ma, Rana rindu dengan pelukan Mama. Rana selalu iri saat Mama hanya mencium kak Rini disaat ia tidur 10 tahun lalu. Rana iri melihat Mama yang selalu menyemangati kak Rini disaat ia sedang sedih. Rana iri dengan semua perhatian yang Mama berikan pada kak Rini. Rana sangat iri, Ma.
Teruntuk Kak Rini
Gimana kak, nggak ada lagi kan yang ganggu kalian? Nggak ada yang idiot lagi, kan? Pasti rumah kita tenang ya, pastinya gak akan ada lagi yang akan membuat kalian malu karena punya saudara yang bodoh, kan? Oh, pastinya. Oiya, Selamat Ulang Tahun yang Ke-20 Kak Rini yang mungkin takkan pernah aku rasakan.
Teruntuk Bibi Maryam dan Kak Andre
Bi, Rana minta maaf karena Rana pergi tanpa memberitau Bibi. Bibi adalah orang yang paling Rana sayang, yang merawat Rana tiap Rana sakit, yang menghibur Rana tiap Rana sedih, yang selalu ada buat Rana. Kak Andre, maaf ya Rana pergi mendahului kakak. Makasih udah jadi orang yang paling tampan kedua setelah Papa, yang paling lucu, dan yang paling nyebelin. Mungkin saat kakak pulang dan berkunjung kerumah Rana, kakak hanya akan mendapati 4 orang spesial yang telah Rana tinggalkan mungkin untuk selamanya. Semoga sukses ya di Amerika.
Kalian semua harus tau, betapa aku sangat sayang dengan kalian. Mungkin dengan kepergianku, semuanya akan tenang dan tentram. Rana harap, gak aka ada lagi yang terkucilkan seperti Rana. Yang selalu menangis setiap malam. Yang selalu merindukan hangatnya kekeluargaan. Mungkin dengan kepergian ini, Rana akan tahu bagaimana kalian akan mengenangku, seperti Rana yang selalu mengenang kalian setiap malam dengan tangisan.”
Semoga kalian semua bahagia sekarang.
Salam rindu
Rana Shafira
Semua yang mendengar menangis. Mereka bertanya-tanya pada Bi Maryam dimana Rana. Namun tiba-tiba telepon rumah berbunyi.
“Iya, dengan Herman, ada apa ya?” Tanya Papanya dengan penasaran.
Dan sesaat kemudian Papanya menangis dan segera mengajak anggota keluarganya ke Rumah Sakit tempat Rini dioprasi. Dan mereka terlambat, Rana telah pergi untuk selama-lamanya. Dan menginggalkan berjuta penyesalan disetiap tangis yang jatuh. Kini, Rana telah tenang dan jauh dari ketidakadilan selama hidupnya. Walau air mata tengah menangisinya yang telah pergi untuk selama-lamanya.
---Tamat---
Segini aja cerpennya. Ini karangan saya pribadi untuk yang ketiga setelah Tri Masketir eps.1 dan Tri Masketir eps. 2. Enjoy it and share it.
Salam.
Komentar
Posting Komentar