Wage Rudolf Supratman
Tokoh satu
ini dikenal oleh rakyat Indonesia sebagai orang yang menciptakan lagu
kebangsaan Republik Indonesia. Dialah Wage Rudolf Supratman (W.R. Soepratman)
yang lahir tanggal 9 Maret 1903, Jatinegara, Jakarta dan wafat tanggal 17
Agustus 1938 di Surabaya. Dia terkenal sebagai pengarang lagu kebangsaan
Indonesia, "Indonesia Raya". Ayahnya bernama Senen, sersan di
Batalyon VIII. Saudara Soepratman berjumlah enam, laki satu, lainnya perempuan.
Dalam beberapa riwayat juga disebutkan bahwa Ayahnya bernama Joemeno
Kartodikromo, seorang tentara KNIL Belanda, dan ibunya bernama Siti Senen. Wage
Rudolf Soepratman adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Salah satunya
bernama Roekijem.
Rukiyem
mengirim surat kepada ayahnya di Cimahi perihal kedatangannya di Makassar
dengan selamat dan nama baru Wage Rudolf Supratman. Di kompleks tangsi militer
Kees, Wage memperkenalkan dirinya Rudolf. Teman-temannya yang sinyo, noni,
totok, dan blasteran, memanggilnya Rudolf. Sedangkan, teman-temannya yang
pribumi memanggilnya Dolok atau Dolof.
Di mana
sebenarnya tempat kelahiran sang pencipta lagu "Indonesia Raya" yaitu
WR Supratman ? terdapat 2 versi tempat kelahirannya. Yang pertama di MR
Cornelis (Jatinegara) Jakarta dan yang kedua adalah di Dukuh Trembelang Desa
Somongari Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Versi pertama dikutip
dari penulis Matu Mona dan penulis Abdullah Puar. Versi ini bersumber dari
surat jawaban yang diterima Matu Mona dari Ny. Rukiyem Supratiyah (kakak WR
Supratman) yang ditulis oleh Urip Supardjo (adik WR Supratman).
Dalam
wawancara yang dilakukan oleh "Sekretaris Tim Peneliti dan Penetapan
Tempat Kelahiran WR Supratman" dalam rangka penulisan buku "Komponis
dan Jurnalis Nasionalis WR Supratman, Maha Putera Tanah Bagelen" terhadap
Urip Supardjo di kediamannya Jl. Veteran Jakarta, Urip Supardjo menyatakan
bahwa surat jawaban untuk Matu Mona yang ditulisnya dengan tempat kelahiran WR
Supratman di MR Cornelis (Jatinegara) hanyalah pertimbangan praktis dan gengsi
saja, namun sesungguhnya WR Supratman dilahirkan di Dukuh Trembelang Desa
Somongari Kabupaten Purworejo. Hal ini juga dikuatkan oleh keterangan Ny.
Rukiyem Supratiyah yang direkam dalam video yang sekarang disimpan oleh Kak Har
(Dwi Rahardjo), seorang pandu wreda yang tinggal di Tangerang. Keterangan yang
menguatkan lainnya berasal dari Ny. Siti Fatimah Kasan Sangari (sepupu WR
Supratman) dan Ny. Salamah (janda WR Supratman).
WR adalah
kependekan dari Wage Rudolf. Wage adalah hari kelahirannya yaitu pada hari Wage
pada tahun 1903 sedangkan Rudolf adalah nama panggilannya karena saat itu WR
Supratman dapat memerankan tokoh Rudolf dengan baik dalam sebuah drama di kota
Makassar karena ikut kakak iparnya Van Eldik, seorang Indo kelahiran Jawa
Timur.
Pada tahun
1914 diusianya yang ke 11 tahun, Soepratman ikut Roekijem ke Makassar. Di sana
ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik.
Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama 3 tahun,
kemudian melanjutkannya ke Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika
berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun selanjutnya
ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar.
Bagaimana
dengan posisi Wage Rudolf Supratman yang sekarang kita hafal sebagai penggubah
lagu-lagu perjuangan? Sebagai wartawan,
memang kurang menonjol, kecuali dialah peliput Kongres Pemuda Indonesia I (30
April-2 Mei 1926) dan Kongres Pemuda Indonesia II (27-28 Oktober 1928) yang
keduanya dia tulis di koran Sin Po.
Sebaliknya
sebagai komponis, dialah komponis Indonesia pertama yang menciptakan lagu-lagu
pujian untuk perjuangan (ode). Selain Indonesia Raya, ia mengarang Dari Barat
Sampai ke Timur (1925), Bendera Kita (1927), Ibu Kita Kartini (1931) yang
semula berjudul Raden Ajeng Kartini, Bangunlah Hai Kawan (1931), Indonesia Hai
Ibuku (1927); dan tiga lagu lain yang dia ciptakan di Surabaya: Mars Parindra
(1937), Mars Surya Wirawan (1937), dan Matahari Terbit (1938), lagu terakhir
ini dianggap memuja-muja Jepang sehingga Supratman ditahan Belanda.
Ketertarikan
Supratman pada musik, dimulai dalam kapal van der Wijk, yang tengah membawanya
berlayar dari Batavia ke Makassar tahun 1914. Di atas kapal itu ia terpesona
dengan permainan biola kakak iparnya, Sersan KNIL van Eldik. Sesampai di
Makassar ia menjadi salah seorang anggota grup band Black and White. Seperti
kakak iparnya, dia pegang biola. Selain bermain musik, dia menjadi guru sambil
bersekolah.
Beberapa waktu lamanya ia bekerja pada sebuah perusahaan dagang. Dari Ujungpandang, ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan. Pekerjaan itu tetap dilakukannya sewaktu sudah tinggal di Jakarta. Dalam pada itu ia mulai tertarik kepada pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Rasa tidak senang terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Desa. Buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.
Sejak kecil,
bakat musik WR Soepratman sudah nampak. Kebetulan, kakak sulungnya dan kakak
iparnya juga pemain biola. Merekalah yang memberi dan mengajar WR Soepratman
bermain biola. Hebatnya, Soepratman cepat menguasai alat musik itu.
Lantaran
itu, Van Eldik memboyong Soepratman ke kelompok musiknya, Black and White
Jazz Band. Saat itu usia Soepratman masih belasan tahun.
Ia pindah ke
Sekolah Dasar Angka Dua (2 Inlandsche School). Lalu, ia melanjutkan lagi ke
Sekolah Guru. Setelah tamat, Soepratman sempat menjadi guru selama 3 tahun.
Tetapi, rupanya, kakaknya keberatan dengan pekerjaan itu.
Setelah itu,
Ia bekerja di kantor seorang pengacara keturunan Indo di Makassar. Dan, seperti
kebanyakan keturunan Indo, pengacara itu bersimpati dengan gerakan Indische
Partij, yang digagas oleh tiga serangkai: Douwes Dekker, Tjipto Mangungkusumo,
dan Ki Hajar Dewantara.
Kantor
pengacara itu berlanganan koran-koran IP. Dan disitulah WR Soepratman mengenal
ide-ide pergerakan. Itu pula yang mendorong ia pindah ke kota Bandung, Jawa
Barat, yang saat itu menjadi pusat pergerakan Indische Partij. Di sana ia
bekerja sebagai jurnalis di Kaoem Moeda dan Kaoem Kita.
Di kota
Bandung, ia beberapa kali pindah tempat bekerja. Ia sempat bekerja di Kantor
Berita Alpena, lalu pindah lagi ke Kantor Berita Tionghoa-Melayu Sin Po.
Di situ ia sering menulis berita tentang kaum pergerakan.
Dari
pekerjaan sebagai penulis berita pergerakan, WR Soepratman mulai mengenal
tokoh-tokoh pergerakan pemuda jaman itu, seperti Mohamad Yamin, Soegondo
Djojopoespito, dan Mohammad Tabrani.
Soepratman dipindahkan ke kota Singkang. Di situ tidak lama lalu minta berhenti dan pulang ke Makassar lagi. Roekijem, sendiri sangat gemar akan sandiwara dan musik. Banyak karangannya yang dipertunjukkan di mes militer. Selain itu Roekijem juga senang bermain biola, kegemarannya ini yang membuat Soepratman juga senang main musik dan membaca-baca buku musik.
Perhatiannya
pada musik, mengantar Supratman pada keinginan menciptakan lagu-lagu
perjuangan. Tahun 1922 dia mulai berkenalan dengan lagu La Marseille, lagu
kebangsaan Perancis ciptaan Rouget de L'isle, yang berirama mars membangkitkan
semangat. Keinginannya mencipta lagu perjuangan, membawa Supratman ingin
kembali ke Jawa, di tengah suasana keinginan Merdeka sedang berkobar - di
Jakarta, terutama di Bandung dengan tokohnya Ir Soekarno lewat Kelompok Studi
Umum maupun sebelumnya Kelompok Studi Indonesia di Surabaya yang didirikan
Soetomo.
Menurut
Supratman, salah satu cara "masuk" menjiwai semangat perjuangan
adalah menjadi wartawan. Itulah profesinya, sambil sering berdendang dengan
biolanya, dan ternyata lagu La Marseille itu yang selalu muncul. Lagu-lagu
pujian yang diciptakan pun disemangati suasana berkembangnya ide-ide
kemerdekaan.
Teks
Indonesia Raya pertama kali dinyanyikan pada akhir bulan Desember 1928, saat
pembubaran panitia kongres kedua. Ketiga kalinya, dikumandangkan saat pembukaan
Kongres PNI 18-20 Desember, dan pada kesempatan itu hampir semua hadirin
serentak berdiri, memberi penghormatan lagu yang nadanya mirip La Marseille
itu.
Dalam
perjalanan sejarahnya, terjadi beberapa perubahaan teks, pernah dilarang Jepang
dan dibolehkan kembali pada pertengahan tahun 1945, diseragamkan lewat
peraturan tertanggal 26 Juni 1958. Kebesaran Indonesia Raya, terungkap antara
lain dari pernyataan Presiden RI pertama Soekarno. Katanya, "... Setia
kepada Indonesia Raya, setia kepada lagu Indonesia Raya yang telah kita
ikrarkan sebagai lagu perjuangan..."
Soepratman
merasa terpanggil oleh artikel itu. Ia merasa, seruan itu sengaja ditujukan
padanya. Ada yang mengatakan, lagu “Indonesia Raya” diciptakan WR Soepratman
tahun 1926. Itu bertepatan dengan Kongres Pemuda Indonesia I. WR Soepratman
yang mendengar kabar pelaksanaan kongres itu dari Mohammad Tabrani.
Menurut Alwi
Shahab, WR Soepratman berniat memperdengarkan lagu ciptaannya itu kepada
peserta Kongres Pemuda Indonesia I. Namun, entah kenapa, Ia mengurungkan niat
itu.
Versi lain mengatakan,
WR Soepratman membuat lagu itu pasca Kongres Pemuda Indonesia I. Jadi, pada
saat kongres pemuda I itu, Ia mendengar pidato berkobar-kobar dari Tabrani.
Tabrani antara lain berseru, “Rakyat Indonesia, bersatulah.”
Kata-kata
itu sangat menyentuh WR Soepratman. Ia kemudian menerjemahkan kata-kata itu
melalui sebuah lagu berjudul “Indonees, Indonees”—nanti berubah judul menjadi
“Indonesia Raya”.
Lagu itu
diperdengarkan pertamakali pada Kongres Pemuda Indonesia II di gedung
Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106, Jakarta. Saat itu, WR
Soepratman mendatangi Ketua Sidang, Soegondo Djojopoespito, untuk meminta
diberi kesempatan membawakan lagu ciptaannya.
Soegondo
setuju, tapi ia meminta agar WR Soepratman tidak menyanyikan liriknya. Maklum,
liriknya ada banyak kata “Indonees, Merdeka”. Soegondo khawatir, lirik lagu itu
akan memancing dinas intelijen kolonial untuk membubarkan acara kongres. WR
Soepratman setuju. Ia pun memainkan lagu ciptaannya itu menggunakan instrumen
biola.
Kapan lagu itu berubah nama menjadi Indonesia Raya? Pada tahun 1944, sebuah panitia yang ditugaskan mempersiapkan kemerdekaan ditugaskan mencari lagu Kebangsaan. Panitia itu dipimpin oleh Bung Karno. Panitia inilah yang beberapa kali mengubah lirik dan judul lagu itu. Pada tanggal 8 September 1944, sebuah keputusan rapat memutuskan mengubah judul lagu itu dari “Indonees, Indonees” menjadi “Indonesia Raya”.
Beberapa
liriknya pun berubah. Diantaranya: “Indones, Indones, moelia, moelia, tanahkoe,
neg’riku yang koecinta” menjadi “Indonesia Raja, Merdeka,
merdeka, Tanahku, neg’riku jang kutjinta!.” Sedangkan “Indones,
Indones, Moelia, Moelia, Hidoeplah Indonesia Raja” diubah
menjadi “Indonesia Raja, Merdeka, merdeka, Hiduplah Indonesia Raja.”
Selain lagu
Indonesia Raya, Ia juga menggubah lagu-lagu nasional seperti Bendera Kita,
Pandu Indonesia, Ibu Kita Kartini dan Di Timur Matahari. Khusus lagu “Di Timur
Matahari”, separuh liriknya, yakni “Di timur matahari mulai
bercahaya, Bangun dan berdiri kawan semua ” itu merupakan sub judul
dalam risalah terkenal Bung Karno, Mencapai Indonesia Merdeka, yang ditulis
tahun 1933.
Dalam Kamus
Musik Indonesia disebutkan, lagu mars “Di Timur Matahari” diciptakan WR
Soepratman tahun 1931. Artinya, sangat besar kemungkinan Bung Karno tertarik
dengan lirik lagu WR Soepratman itu dan menjadikannya sub judul dalam karyanya.
Gelar
Pahlawan Nasional dan Bintang Maha Putra Utama kelas III dianugerakan
Pemerintah RI tahun 1971. Beberapa peninggalannya masih tersimpan rapi, hingga
sekarang, di Gedung Pemuda Jl. Kramat Raya - tempat pertama kali Indonesia Raya
dinyanyikan secara instrumentalis, antara lain biola, teks lagu Indonesia Raya,
dan beberapa kenangan.
Supratman sendiri, sejak Juli 1933 terus sakit-sakitan karena terus dikejar oleh pemerintah Hindia-Belanda yang melarang lagu instrumen dan lirik Indonesia Raya untuk disebarluaskan. Pada November 1933 WR Suptratman berhenti sebagai wartawan Sin Po, dan menetap mula- mula di Cimahi, kemudian di Palembang, akhirnya di Surabaya. Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang persatuan bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu, Wage Roedolf Soepratman, tidak sempat menikmati hidup dalam suasana kemerdekaan. Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda, sampai jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang terakhir "Matahari Terbit" pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama pandu-pandu di NIROM jalan Embong Malang - Surabaya dan ditahan di penjara Kalisosok-Surabaya. Ia meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit.
Komentar
Posting Komentar