Langsung ke konten utama

Cerpen: Alexandria




Alexandria

Jelajah mesin waktu yang terus berputar, menghantuiku didalam bilik di sebuah apartemen elite di Jakarta Pusat. Tak bisa kupungkiri, memang dia masih berada jauh didalam benakku. Tak bisa kupungkiri, dia masih terbayang dalam anganku. Seseorang yang sangat jauh disana. Jauh melewati Asia Tenggara, melewati indahnya dataran India, lalu masih berlanjut melewati Timur Tengah, hingga sampai disebuah titik tempatku menuntut ilmu saat perguruan tinggi sekitar 1 tahun lalu.


sumber: google image

“Apa yang terjadi denganku?”, batinku mulai resah. Hanya hembusan angin malam dan secangkir espresso yang dapat menemaniku bersandar di balkon apartemenku, melepas penat setelah beradu otak di kerasnya kehidupan ibukota. Aku ingin bercuti sejenak, melepas pikiran yang terus berdatangan. Tapi kemana? Kemana aku akan melabuhkan semua pikiranku?

‘Apa aku harus kembali kesana?’

Alarm digital menyambut pagiku yang cerah dengan suaranya yang khas. Aku bergegas melakukan aktivitasku seperti biasa lagi, bekerja hingga larut malam. Ya, semua itu kulakukan dengan beban pikiran yang masih mengganjal di hati. Aku bimbang, bimbang seperti kapal tanpa nahkoda, laiknya bunga dandellion yang tertiup angin di musim semi, persis seperti pesawat kertas yang diterbangkan riang oleh anak kecil dihalamannya.

Penat, aku sudah tidak kuat. Malam itu, selepas bekerja aku tidak langsung kembali ke apartemen. Aku memilih mampir ke sebuah cafe dekat pantai, di Jakarta Utara. Sebuah cafe berkanopi hijau dengan cat dinding bernuansa cokelat seolah melambaikan tangannya untukku mengunjunginya. Aku memutuskan memesan secangkir kopi latte dengan ekstra creamer, menu favorit minggu ini. Kutunggu pesananku di balkon cafe di lantai dua sembari menikmati pandangan pantai eksotis kota metropolitan di malam hari. Pikiranku semakin kacau, saat aku melihat jajaran ombak yang berhembus dengan pelan, saat aku melihat lambaian pohon kelapa ditengah hamparan pasir putih nan elok. Mengingatkanku dengan suasana kota disana. Aku rindu, bukan hanya rindu dengan kotanya, tapi juga dengan dia. Dia yang sudah berhasil membuatku galau seperti anak ABG yang menemukan cinta pertamanya. Jajaran pantai luas, ditemani bangunan khas timur tengah bernuansa coklat gading membuatku ingin kembali kesana. Ya, aku harus kesana. Aku harus kembali, kembali ke Alexandria.

“Silahkan dinikmati pesanannya, mas!” seorang pelayan menghampiriku dan memberikan secangkir kopi pesananku dengan senyum ramahnya.

“Terima kasih” balasku hangat seraya menampikkan senyum tipis yang agak dipaksakan.

HP-ku disaku tiba-tiba berdering. Sebuah telefon masuk dari seseorang yang tidak kukenal, dengan 3 digit depan bukanlah ‘+62’. Dari luar negri, tapi aku lupa domain negara mana. Aku putuskan untuk mengangkatnya, dan terdengar suara pria yang sekilas tampak familiar.

Assalamu’alaikum, ya Faiz”, sapa pria tersebut dengan nada hangat.

“Wa... Wa’alaikumsalam. Leon?” tanyaku dengan nada yang tidak percaya. Teman lamaku di Alexandria rupanya menelfon, jika diibaratkan perjalanan cintaku adalah sebuah garis, maka ia adalah titik awal dari segalanya.

“Iya, pikiranmu masih kuat ternyata. Apa kabar, saudaraku?” tanyanya.

“Aku rindu. Aku rindu dengan kalian semua,” ujarku pelan.

“Tapi ngomong-ngomong, kok nomormu tidak dikenal, dan kau tiba-tiba menelfon, semua baik saja, kan?” lanjutku.

“Iya, iya. Sudah saya tebak kau pasti tanya hal ini. Tapi saya ingin bicara denganmu tentang satu hal, penting. Saya ingin kau kemari, sebentar.” Ujarnya dengan nada yang semakin datar.

Kami berdua terus bercakap-cakap ditelfon, sampai akhirnya dia putuskan untuk memutuskan sambungan karena ada keperluan. Tapi kata-kata dia tadi membuatku senang, karena kami berdua telah sepakat untuk bertemu di kediamannya, di Alexandria. Menemui adiknya, Alyssa. Seseorang yang berhasil membuatku menjadi tidak waras disini. Rasanya seperti homesick di rumah sendiri. Lusa kuputuskan untuk terbang ke Negri Piramida tersebut. Ya, keputusanku kali ini sudah bulat.

Di apartemen, aku sibuk mencari kameraku yang sudah lama tidak terurus. Aku mencari kemana-mana, sampai akhirnya aku tersadar dengan sebuah kotak usang diatas lemari barang. Dan benar, kutemukan kameraku bersama... Bersama kumpulan e-mailku dengan Alyssa dulu saat kami berdua masih aktif berkomunikasi. Ah, ada saja yang mengingatkanku dengannya.

Aku jadi rindu saat berdebat dengannya, menyaksikan kecerdasannya yang dibalut dengan tarian kata-kata indah ilmiah bersatu dalam sebuah paragraf yang dikirimnya tiap beberapa kali dalam seminggu. Ah, aku semakin rindu. Aku putuskan untuk sholat isya yang sempat tertunda meeting tadi. Aku ingin bergulana di sajadah panjangku, aku ingin mengadu, ingin menyampaikan semuanya kepada sang Ilahi, ingin menari didalam tarian do’a untuk sampai ke alam lain.

Aku bermunajat kepada-Nya, memohon untuk diberikan keputusan yang terbaik. Aku memohon yang terbaik. Bila memang takdirku untuk bertemu dengan Alyssa, maka temukanlah aku dengannya. Setelah tidak pernah bertemu lagi, aku rindu dengan wajahnya yang khas dataran Yunani. Rindu dengan hidung mancung, alis tebal, dan wajah yang cantik bersih dan dibalut dengan hijab yang cukup trendy tetapi masih syar’i tersebut. Aku ingin mengajaknya berkeliling bersama di Mesir. Mengunjungi Pharos, berkeliling Cairo, atau mungkin sekedar menikmati hamparan laut Mediterania di pelabuhan Alexandria, membawa kenangan Alyssa ke Teluk Aegea, hingga sampai ke dataran Yunani, tempat kelahirannya.

‘Ah, tapi apa dia mau?’

Hari ini, adalah penerbanganku dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Internasional Kairo. Bismillah, semoga Allah meridhoi penerbanganku. Penerbanganku melewati dataran Asia, lalu masuk melewati Timur Tengah, laut tengah, hingga sampai ke Kairo. Burung besi yang kutumpangi berhasil mendarat mulus di landasan pacu Bandara Internasional Kairo. Lalu aku melanjutkan perjalanku naik kereta ke Alexandria. Aku hanya membawa koper yang tidak terlalu besar sehingga masih nyaman untuk dibawa menaiki kereta. Perjalanan yang melelahkan, memang sangat melelahkan. Tapi setidaknya, selangkah lagi aku bisa melihat kembali wajahnya yang rupawan, dan senyumanya yang khas.

Aku memutuskan untuk menelfon Leon.

“Assalamu’alaikum, Leon. Apa kabar saudaraku?” sapaku membuka pembicaraan.

Wa’alaikum salam. Faiz, temui aku di toko makanan dekat rumah sakit Gamal Abdel Nasser sekarang. Nanti untuk alamat akan ku SMS.” Ucapnya singkat, padat, namun kurang jelas. Membuatku khawatir dengan apa yang terjadi, karena ia langsung saja menutup telfonnya.

Tak lama, sebuah pesan singkat masuk ke HP-ku. Isinya sebuah alamat dan sebuah kalimat... Astaghfirullah...

‘Alyssa sakit?’

Aku semakin cemas, aku segera memesan taksi secepat mungkin. Aku berfikir keras, tidak mungkin Leon menelfonku untuk jauh-jauh kemari jika Alyssa hanya sakit demam atau flu. Tidak, pasti lebih dari itu. Jemariku sibuk menari didalam koper yang sengaja tidak kuletakkan didalam bagasi. Aku sibuk mencari kotak usang yang berisikan tumpukkan e-mail Alyssa yang sengaja kubawa dari Jakarta. Kutaruh kotak itu ditumpukan yang paling atas dari susunan pakaianku agar nanti mudah diambil.

“Leon!” aku memanggil seorang pria yang tengah duduk cemas di bangku depan di sebuah toko penjaja makanan.

“Ah, Faiz! Syukurlah kamu mau datang. Aku minta maaf Faiz, aku ingin mengabarimu beberapa hari sebelumnya, tetapi subhanallah HP-ku hilang di tram saat akan kembali dari kampus. Jadi aku ganti HP dan berganti nomor. Untung nomormu tertulis dibelakang cover bukumu yang kau berikan kepadaku dulu.” Paparnya dengan nada yang agak cepat. Aku yang sudah lama tidak berbahasa Mesir, menjadi agak kikuk dibuatnya.

“Semua baik saja kan, Leon?” tanyaku membuka topik utama pembicaraan.

“Itu dia, Faiz. Alyssa, Faiz... Alyssa...”

“Alyssa sakit?” tanyaku memastikan.

“Iya, sudah dua minggu dia dirawat intensif di ICU rumah sakit ini. Aku cemas, dia sempat berpesan kalau dia ingin bertemu kamu.” Jelas Leon yang membuatku semakin khawatir.

“Dua minggu di ICU?! Memang Alyssa sakit apa, lalu kondisinya sekarang bagaimana?” tanyaku yang semakin penasaran.

“Faiz..., aku minta maaf..., untuk inilah dulu aku melarangmu untuk mendekati adikku. Karena ini, Alyssa menjadi gadis yang agak tertutup dengan dunia luar.” Ucap Leon dengan nada yang semakin mengecil. Tangannya mengepal menutupi ekspresi mulutnya, matanya tertunduk sayu dan raut wajahnya berubah drastis.

Memang sedari dulu hubunganku dengan Alyssa hanya sekedar berbicara lewat email saja. Tidak pernah bertatap muka langsung dengannya kecuali hanya sekali. Saat aku memberikan bukuku ke Leon untuk dipinjamnya, sampai akhirnya aku serahkan sepenuhnya kepadanya. Saat itu karena tidak ada orang dirumah, maka Alyssa yang membukakan pintu untukku sehinnga ia yang menerima buku novel pemberianku untuk Leon. Walaupun pertemuan kami hanya sebatas tatap muka di pintu ruangan.

“Leon, aku ingin tau. Alyssa sakit apa?”

Sahabat lamaku akhirnya menceritakan semuanya padaku. Ya, semuanya. Dari mulai awal Alyssa sakit, sampai kondisinya sekarang yang semakin memburuk. Setelah mendengar penjelasan Leon, tubuhku serasa lemas. Lemas seringan kapas yang dihembus angin panas didataran Afrika. Aku berhasil dibuat terpaku olehnya, seolah tidak bisa menerima kenyataan yang begitu pahit dirasa. Aku ingin memberontak dalam kesunyian hati, aku ingin semua terulang lagi, aku ingin kembali, tapi bukan kembali yang saat ini.

“Alyssa..., Alyssa kanker otak? Astaghfirullah” ucapku tidak percaya.

Aku tidak tahan lagi. Aku menutup mataku dengan tangan kananku dan berusaha menenangkan diri dari air mata yang mulai merembes keluar. Leon tidak berani mengucapkan sepatah katapun, seolah tau aku sedang tidak ingin diganggu.

Setelah beberapa lama, Leon membuka pembicaraan kembali.

“Faiz, ayo aku antar kau menemui Alyssa.” Ajak Leon dengan nada lembut.

Aku mengangguk dan mempersiapkan koperku. Aku sudah lebih baik, tetapi pandanganku masih kosong, langkahku terkulai lemas, dan kepalaku masih tertunduk layu.

‘Tiin... Tiin...’ sebuah mobil yang melintas dihadapan kami terpaksa menginjak pedal rem dengan agak keras. Seolah marah karena kami berdua tidak hati-hati dalam menyebrang. Aku hanya melihatnya sejenak dengan ekspresi datar, lalu lanjut berjalan ke arah rumah sakit.

Aku masuk ke ruang ICU tempat Alyssa dirawat. Aku duduk disamping ranjangnya, dan mulai membuka 2 pucuk surat e-mail yang menurutku paling berharga. Aku mulai membacakan untuknya, walaupun dia sedang dalam ‘tidur pulasnya’

Alexandria, 29 Juni 2014
“Faiz, aku ingin bertanya satu hal padamu. Mungkin hanya sesuatu yang bodoh, tapi aku ingin tau menurut perspektifmu. Apa arti cinta bagi dirimu? Karena kulihat, cinta bukanlah suatu hal yang sepele, bahkan seorang Adam bisa kesepian dalam indahnya surga, seorang pembunuh bayaran tidak menyelesaikan misinya hanya karena ada putrinya yang bersama targetnya, seorang perwira perang menggagalkan tugasnya demi menyelamatkan kekasihnya. Apa cinta itu hal yang gila, Faiz?”

Salam.


Lalu aku bacakan surat balasanku beberapa minggu setelahnya

Jakarta, 17 Juli 2014
“Maaf, aku baru sempat mengirim pesan balasannya untukmu. Cinta, cinta adalah sebuah insting. Jika manusia hidup tanpa cinta, maka sebenarnya ia telah mati. Baik mati yang dipandang dalam arti konotasi, atau dalam arti yang sebenarnya. Jika kusebut cinta sebagai sebuah insting, maka mencintai adalah sebuah pilihan. Misal aku cinta dengan kakakmu sebagai teman yang telah dekat setelah sekian lama, tapi aku bisa memilih untuk mencintainya atau tidak. Tentu aku memilih untuk tidak, aku masih pria normal! Hahaha. Jika cinta adalah sebuah makanan, maka mencintai adalah selera. Jadi, cinta itu sifat alamiah manusia, Alyssa. Dan cinta bukanlah hal yang gila. Mereka sediri yang termakan oleh kegilaan mereka.

Semoga sudah jelas kali ini, Alyssa.

Salam.

Aku membacakan surat itu dengan isak tangis yang ingin menyeruak keluar dari mataku. Bunyi mesin aneh untuk pendeteksi denyut jantung awalnya bergerak normal. Tapi setelah beberapa detik, bunyinya semakin tidak beraturan. Aku cemas, aku panik. Segera aku panggil suster untuk menangani Alyssa.

Sekitar berjam-jam lamanya aku menunggu tim dokter untuk memeriksa keadaan Alyssa. Lalu akhirnya tim dokter beranjak keluar dari dalam ruang ICU.

“Bagaimana keadaannya, dok?” tanyaku kepada lelaki paruh baya dengan hidung yang agak besar khas orang Mesir.

“Untuk keluarga Alyssa. Saya minta maaf, nyawa pasien sudah tidak bisa diselamatkan. Gadis itu sudah cukup kuat untuk berjuang melawan kanker otaknya yang terlanjur menyebar. Itu tidak mungkin kami angkat karena terlalu berbahaya, kami tidak mau mengambil resiko besar. Sekali lagi kami minta maaf, tim dokter sudah berusaha melakukan yang terbaik, tapi Tuhan yang menentukan.”

“Untuk sanak keluarga pasien boleh masuk untuk menjenguk tetapi harus dibatasi”, jelas asisten dokter yang berjalan bersama dokter tadi.

Ah, aku tidak tahan, semua harapanku sekarang seolah hilang. Hilang ditelan kenyataan yang begitu berat rasanya untuk dihadapi, hilang ditelan masa yang terbuang sia-sia, hilang ditelan tumpukan e-mail kami yang kini sudah tidak berwarna.

“Leon... Adikmu tiada.” Ucapku singkat dengan nada suara yang agak sumbing. Leon memang baru saja sehabis makan siang setelah melewati jam makan pagi.

“Jangan bercanda kamu, Faiz!” ujarnya dengan nada keras

Aku hanya terdiam, membisu, terpaku di sebuah bangku ruang tunggu itu. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk saat ini. Mungkin belum saatnya aku bersama seorang wanita, belum saatnya aku diberikan pendamping setia, mungkin belum saatnya.

Hangatnya pagi hari di Alexandria menemani aku, dan Leon untuk pergi ke pemakaman Alyssa. Kami ditemani oleh kerabat Alyssa yang jumlahnya jauh lebih sedikit daripada kerabat kakaknya yang hadir. Suasananya sepi, sama seperti diri ini.

Satu hari setelah pemakaman Alyssa. Aku pamit dari kediaman Leon. Sebuah apartemen tua di sudut kota Alexandria itu rela menampungku untuk satu malam lamanya. Aku ingin pergi ke pantai, mewujudkan impianku untuk mengunjungi pantai Alexandria yang eksotis. Hanya bedanya, kali ini aku sendiri. Aku membawa sebuah kotak yang berisi tumpukan e-mailku dengan Alyssa. Biarlah laut Alexandria menjadi saksi, biarlah hembusan angin dari arah Afrika membawa suratku pergi. Biarlah dia terbawa, bersama arus laut Alexandria, bersama sirkum Mediterania, membawanya ke teluk Aegea, menyusuri pulau Kreta, sampai ke tanah kelahiran Alyssa. Disini aku menutup kisahku, disini aku memulai lembaran baru, terima kasih untuk kisahnya, Alexandria.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara menghilangkan password file di WinRAR

Sebelumnya maaf saya baru kembali menulis lagi di blog ini karena saya yang sedang menjalani Ujian Akhir Semester dan hari ini saya akan membagikan tips dan trik cara menghilngkan password file di WinRAR. Siapa yang nggak gelisah dengan file WinRAR yang dipassword? Apalagi kalau password tersebut hanya bisa didapatkan setelah kita menyelesaikan survey yang tersedia di web yang telah ditentukan. Dan survey tersebut juga merepotkan kita yang berada di negara kecil seperti Indonesia. Terkadang survey yang tersedia tidak cukup bervariasi atau bahkan tidak ada survey yang tersedia. Jadi, kita diharuskan memakai VPN dan memilih koneksi ke USA. Terlebih kalau survey yang akan kita selesaikan itu ribet dan akhirnya berujung kepada file password yang tidak terbuka. Sungguh menyebalkan, hehehe. Jadi, saya akan membagi tips dan trik kepada kalian pengguna WinRAR untuk menghilangkan password pada file berbasis WinRAR (.rar). Langsung saja kebawah WinRAR didefinisikan sebagai Pengarsip berbasis W

Sejarah pada masa pra-aksara

Menurut Marwati Djonoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, sejarah alam semesta lebih panjang dibandingkan umat manusia. Manusia pertama kali muncul sekitar zaman Pleistosen (3.000.000 sampai 10.000 tahun lalu) Asal usul Bumi dan mahluk hidup Ilmuwan meyakini Bumi terbentuk pertama kali saat adanya letusan Big Bang sekitar 13,7 milyar tahun yang lalu, ledakan ini menyebarkan material dalam jumlah banyak ke alam semesta lalu membentuk sistem tata surya. Dulu, Bumi berbentuk gumpalan gas panas yang kemudian berevolusi selama 2,5 miyar tahun untuk menjadi seperti sekarang. Menurut ilmu Geologi, proses berkembangnya Bumi melalui 4 tahapan. Yaitu masa Arkaekum, Paleozoikum, Mesozoikum, dan Neozoikum a.        Masa Arkaekum Masa ini terjadi sekitar 2,5 milyar tahun yang lalu. Dimasa ini tidak ada kehidupan karena bumi masih berbentuk bola gas panas yang bersuhu tinggi b.        Masa Paleozoikum Berlangsung sekitar 500-245jt tahun lalu. Kondisi Bumi mula