2 hari
menuju keberangkatanku, aku tengah berada di salah satu pusat perbelanjaan
bersama sahabatku Vina. Namaku Lisa Adrianna. Kami berdua tengah berjalan
mencari perlengkapan yang mungkin akan kubawa merantau nanti. Koper, beberapa pakaian,
alat kecantikan, semua sudah. Mungkin aku akan membeli beberapa makanan kecil
untuk nanti. Tiba-tiba Vina mengajakku ke suatu tempat.
“Eh,
kita kesitu yuk! Gue udah laper banget nih, Sa. Lo daritadi keliling disini
nggak laper?” tanya Vina sembari menujuk salah satu tempat makanan.
“Emang
sebelum kesini, kamu belum makan, Vin?” ucapku balik menanya Vina.
“Udah
sih, tapi gue laper lagi. Udahlah temenin ayo, gue bayarin, deh” ajak Vina sambil menarik tanganku
untuk kesana.
“Tapi
kita belum beli snack yang mau aku
bawa, Vin” bantahku sambil menahan tarikan tangannya.
“Lo
mau gue mati di mall gara-gara
kelaperan?” sahut Vina kesal.
“Iya deh, iya. Tapi abis ini kamu gantian
ikut aku, dan jangan lupa traktir aku,
ya?” ujarku dengan nada setengah meledek. Lumayan, dibayarin. Trik ini sudah
kulakukan sejak lama. Mengulur waktu, sampai orang tersebut memohon, lalu
mereka akan mengajukan penawaran yang menggiurkan. Agak kejam sih, nampaknya.
Tapi worth it.
Oiya,
aku bersekolah di salah satu perguruan tinggi ternama di Yogyakarta. Aku
mengambil fakultas musik di universitasku dan aku akan menjalankan beasiswaku
untuk terbang ke Italia. Tepatnya di Venesia, kota dengan ribuan kanal cantik,
dengan gaya bangunannya yang unik menjadikan kota ini salah satu tujuan utama
bagi para pelancong. Disana aku hanya perlu membayar uang sehari-hari dan uang
transportasi. Segala urusan administrasi pendidikan sudah ditanggung oleh
beasiswaku. Aku tidak sabar merasakan suasana kota Venesia. Tiap malam aku
membayangkan berada disana, menaiki perahu menyusuri kanal, dan bersantai
sambil minum cappucino khas Italia.
Lamunanku saat itu tiba-tiba dibuyarkan oleh Vina.
“Eh!
Kok lo bengong sih? Ntar kesambet,
lho. Mikirin apa, sih?” ujar Vina sambil menyenggol bahuku.
“Ugh...,
kamu mau tau aja sih, Vin?” ujarku kesal.
“Lah,
gue kan cuma nanya, Sa. Oh gue tau, lo kan bentar lagi ke Italia, lo pasti lagi
mikirin muka-muka cowok italia, ya?” ledek Vina.
“Nggak
usah nebak-nebak deh, Vin. Aku cuma
lagi bayangin suasana kota Venesia aja, kok” ujarku dengan wajah cemberut.
“Yaudah,
yuk. Katanya Tuan Putri gue yang paling manja ini mau mencari snack? Jadi nggak?” ujar Vina sambil
tersenyum meledek.
“Iya,
iya, jadi” ujarku pelan sambil meraih tasku. Selesai membeli semua perlengkapan
yang sudah kurencanakan, aku dan Vina pulang kerumah masing-masing.
Sesampainya
dirumah, aku mengistirahatkan tubuhku yang penat sehabis berbelanja diranjangku.
Aku memang mudah lelah jika berbelanja, karena aku memang tidak suka shopping. Tiba-tiba ponselku berdering
dari dalam tas, kulihat itu Profesor Tris, rektor di universitasku.
“Selamat siang, Prof” sapaku dengan hangat.
“Siang,
Lisa. Hmm.., begini. Saya akan membicarakan masalah beasiswamu” ujar Profesor
dengan nada agak cemas.
“Apakah
ada yang salah, Prof?” tanyaku penasaran.
“Tidak,
hanya saja ada satu masalah kecil. Ya walaupun tidak bisa dikatakan kecil secara
keseluruhan”.
“Apa
itu, Prof?” aku semakin penasaran.
“Begini,
jadwal penerbanganmu dipercepat 12 jam. Jadi kau harus berangkat dari sini
sekitar siang hari, besok” jelas profesor.
“Apa
ada kendala berarti sehingga jadwalku harus dipercepat, Prof?”
“Ya...,
kendala ini berasal dari pihak universitas yang akan kau jalani di Venesia.
Mereka bilang, ini masalah administrasi yang harus segera dilunasi. Saya harap,
kau maklumi saja. Saya sudah mencoba bernegosiasi dengan pihak disana, tapi
hasilnya nihil” jelas profesor.
“Begitu
ya?” desahku pelan.
“Ada
apa, Lisa? Apa ada masalah yang berarti jika kau berangkat besok? Segala urusan
keberangkatan telah diurus oleh pihak kami” ujar Profesor meyakinkan.
“Tidak,
Prof. Terima kasih atas info dan bantuannya. Selamat siang” ujarku seraya
mematikan telfon dan melemparnya ketepi ranjang.
Aku harus menyiapkan semuanya lebih cepat. Malam itu, aku
telah selesai mengemas barang-barangku beserta perlengkapan yang harus kubawa.
Dan malam itu juga, aku ingin sekali menelfon Vina. Tapi tampaknya sudah
terlalu malam. Jam sudah menunjukkan pukul 00.00 tepat tengah malam. Aku
memutuskan untuk mengirimkan pesan untuknya sebelum pergi tidur.
“Vin, sorry ya
baru kasih kabar ke kamu dan sorry
juga kirim pesannya tengah malam begini. Aku akan berangkat ke Italia besok
siang, Vin. Profesor Tris bilang ke aku kalau jadwal penerbangan dipercepat 12
jam. Jadi kalau kamu besok mau nganterin
aku ke bandara, pagi ini kamu harus ada dirumahku, oke?” aku langsung mematikannya
dan men-charge handphoneku lalu
kuletakkan disebelah tempat tidurku.
Pagi ini, aku akan berangkat ke Venesia. Aku menelfon
keluargaku yang berada di Palembang, dan tidak lupa juga aku menelfon Vina.
Tidak lama, Vina datang kerumahku. Rencananya dia akan mengantarku ke Bandara
Internasional Adisucipto. Kita segera memesan taksi ke bandara. Tibalah kami di
bandara. Tiketku sudah diberikan oleh seseorang yang telah dipesan oleh
profesor Tris di bandara. 2 jam sebelum boarding pesawatku ke Italia, aku
berpamitan ke Vina karena aku harus masuk ke lounge yang khusus untuk calon
penumpang pesawat
“Vin, aku pergi ya. Kamu jaga diri disini, semoga
kuliahmu lancar ya. Kamu nggak apa kan?” ujarku sembari memeluk Vina
“Iya,
Sa. Gue bakalan kangen banget deh pasti sama lo. Lo juga jaga diri
disana. Di negara asing jangan gampang percaya sama orang. Nanti kita tetep stay in line, kan?” tanya Vina.
“Iya
Vin, iya. Kita tetep jaga kontak, kok. Kamu kenapa jadi sok nasihatin gini,
Vin? Sedih ya? Sahabat satu-satunya, pergi jauh ke Italia?” tanyaku diselingi
tertawa kecil.
“Ih
apaan, sih?” bantah Vina.
“Nanti
mungkin sesekali aku akan kesini. Kamu mau aku bawain apa darisana?” tanyaku.
“Bawain
cowok Italia aja, deh” ledek Vina.
“Iya
deh, nanti aku bawain. Tapi jangan kaget ya. Nanti udah jadi pacar aku duluan”
ujarku membalas ledekan Vina
“Emang
ada yang mau ama lo? Yang ada mereka bakalan naksir duluan ke gue, keles. Soalnya, jumlah mantan gue ama lo?
Banyakan punya gue, kan kan?”. Ujarnya dengan setengah jumawa. Kuakui, Vina
memang jago dalam hal meledek orang. Kami lalu tertawa untuk yang terakhir
kalinya. Setidaknya, untuk waktu yang lama.
Panggilan
terakhir telah diumumkan kepada calo penumpang untuk segera memasuki lounge.
Aku mengucapkan salam terakhir kepada Vina, sebelum akhirnya berlalu dari
hadapannya. Aku mempercepat langkahku, dan akhirnya aku boarding ke pesawat.
Sto
arrivando, Italia!
Aku
menikmati suasana diatas pesawat memandang langit di pagi hari yang indah.
Untungnya, aku mendapat kursi persis disebelah jendela, sehingga bisa melihat
pemandangan luar. Jujur saja, ini baru yang kedua kalinya aku naik pesawat.
Pertama kali saat aku pindah dari Palembang ke Yogyakarta untuk meneruskan
kuliahku, dan ini yang kedua. Ditambah lagi, saat penerbanganku yang pertama
kursiku tidak terletak disebelah jendela.
Pesawat
yang kutumpangi transit ke Singapura selama beberapa jam. Aku tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Aku pergi berkeliling disekitar Bandara Internasional Chang-I
sembari membeli beberapa cinderamata kecil.
Perjalananku
berlanjut. Di pesawat, selain puas melihat pemandangan luar, aku juga puas
menonton beberapa film di headrest
penumpang yang tersedia. Akhirnya aku sampai di Bandara Internasional Venice
Marcopolo. Penerbangan yang memakan waktu lebih dari 14 jam ini lumayan
menguras tenaga. Kepalaku terasa sedikit pusing, telingaku juga sakit. Ini
pertama kalinya aku mengalami hal seperti ini. Aku dipesan untuk menemui seorang
perempuan oleh Profesor Tris yang nantinya akan menemaniku di Venesia, dan aku langsung
menanyakan hal ini padanya. Dia bilang aku mengalami Jetlag —sebuah kondisi psikologis akibat perubahan ritme circadian.
Perubahan ini disebabkan oleh perjalanan melewati meridian, atau penjangnya
hari yang berubah yang mengganggu putaran terang gelap yang mengubah periode
ritme circadian tubuh— dan dia menyarankan untuk beristirahat sejenak sebelum
meneruskan perjalanan ke hotel.
Kami
berdua memutuskan untuk singgah di salah satu cafe di Venesia. Tampilan depan cafe
ini begitu bersahabat. Kanopi berwarna merah yang dipadukan dengan sedikit
warna putih semakin membuatku kagum. Lantai yang terbuat dari hardwood, dan dilengkapi dengan style
klasik membuatku semakin menyukai tempat ini. Kami memutuskan untuk memesan dua
cangkir espresso. Menengguk secangkir espresso membuatku lebih baik sekaligus
menghangatkan tubuhku yang tidak biasa terkena udara dingin.
Inilah mengapa orang Italia menyukai
kopi!
Perjalanan
berlanjut. Aku bahkan belum sempat berkenalan dengan orang itu. Ternyata
namanya Linda. Nama yang cukup familiar didengar oleh orang Indonesia. Dulu,
dia juga sempat tinggal di Indonesia selama enam bulan sehingga aku tidak
begitu sulit untuk berkomunikasi dengannya. Kosakata bahasa Italiaku pun masih
banyak yang harus diperbaiki, sehingga aku bisa belajar darinya.
Diperjalanan,
aku sempat melewati universitas yang akan menjadi tempatku nantinya. Cukup
megah. Itulah kesan pertama yang terlintas dipikiranku.
Aku
rencananya akan tinggal bersamanya disebuah apartemen di tepi kota Venesia.
Apartemen kami hanya terletak 3 km dari universitasku, sehingga aku hanya perlu
berjalan kaki tiap harinya. Bangunan apartemen kami ternyata berbentuk seperti
semacam gedung mini, dengan banyak ukiran di dindingnya sehingga terlihat
sangat cantik dipandang.
Akhirnya
aku sampai di apartemen Linda. Petugas resepsionis memberi senyuman hangat
kepada kami. Petugas penjaga lift lalu membawa barangku –Koper dan tas
besar– ke dalam kamar. “Grazie,”kataku lembut sembari memberinya
satu euro sebagai uang tip. Dia tersenyum dan membawa barangku kedepan kamar.
“Jika kau butuh apapun, kau bisa menelfon kami kebawah, Nona.” Ujarnya dengan
logat Italia yang khas.
“Silakan
masuk, Lisa. Casa dolce casa, Lisa.
Home sweet home,” ujarnya seraya membantuku masuk dan menunjukkan sebuah kamar
minimalis dengan style klasik – tepi
pilar yang diukir dengan cantik, lukisan, perabotan, dan lain sebagainya– yang tampak
memukau.
“Sudah
berapa lama kau tinggal disini Linda?” tanyaku penasaran. Mataku tak bisa lepas
untuk melihat sekeliling kamar apartemen miliknya ini.
“Sekitar
dua tahun,” ujarnya singkat. “Sebelum itu, kau dimana?” lanjutku.
“Dirumah
ibuku, letaknya agak jauh dari sini. Dia tinggal di San Marino, tepatnya
disebuah rumah di Monte Titano,”
jelasnya. “Tapi sekarang disana sudah tidak ada siapapun.” Pandangannya lalu
tertunduk. Aku menghampirinya, tampaknya dia menangis. Dia teringat kenangan
pahit yang menimpa mereka. Aku memegang pundaknya, “Tak apa, Linda. Aku bisa
jadi pendengar yang baik”
“6
tahun lalu, aku baru bisa mengemudikan kendaraan. Di malam hari, kita berada
ditengah dinginnya Monte Titano.
Jalan yang licin tertutup salju, udara yang dipenuhi kabut, mewarnai perjalanan
kami. Aku dan mamaku bercakap-cakap, bersenda gurau, saat itu. Mama
menceritakan lelucon terbaiknya, dan kami berdua tertawa lepas. Didepan kami,
lampu lalulintas telah berubah warna menjadi merah, tetapi aku tidak melihatnya.
Aku melihatnya saat posisi mobil kami tepat dibawah lampu lalulintas tersebut,
kurasa. Tapi jalannya licin, aku tidak mungkin mengerem mendadak atau mobil
kami akan tergelincir. Lalu...,” desak tangis Linda semakin kuat. Aku
meraihnya, lalu memeluknya.
“Lalu...,
tanpa kami sadari, ada mobil SUV melaju cepat dari arah pintu tempat mamaku
duduk. Kami bertabrakan, mobil sedan yang kami kendarai hancur dibagian kanan. Dan
kami dibawa kerumah sakit terdekat. Mamaku kritis, sedangkan aku mengalami luka
yang cukup parah. Dan setelah dua hari kritis, mamaku meninggal dirumah sakit
tersebut.” Papar Linda. Lalu dia mengambil sehelai tisu dan mengusap matanya
yang sembab.
Linda
tampak menyesal saat dia teringat dengan peristiwa tersebut, “Jika saja aku
tidak lengah malam itu..., semua tidak akan terjadi”.
“Aku
turut berduka, Lin” ujarku sedih. Aku meninggalkan Linda yang masih duduk di
balkon kamarnya. Lalu aku masuk kedalam dan memutuskan untuk beristirahat
sejenak, melepas penat setelah perjalanan panjang.
“TRRRT...,
TRRRT...!” suara dering HP-ku membangunkanku. Ada SMS yang masuk. Kulihat,
ternyata dari Vina. Aku memutuskan untuk membacanya.
“Hai
hai yang lagi ada di Italia! Baru sehari aja, udah bikin kangen gak ada lo.
Yogya terasa sepi. Nggak ada temen yang ngajak jalan ke pasar, nongkrong, atau
ketawa-tawa lagi. Gimana kabar disana, masih ‘idup’ kan? Hehe. Bercanda. Gue
kangen, cepet pulang ya, Sa.”
Tanpa
sadar, aku menggelengkan kepalaku, berdecak keheranan. Kadang, aku juga merasa
kasihan sama Vina. Dia tidak punya banyak teman ngobrol di kampusnya.
Satu-satunya yang paling dekat hanya aku. Ya, yang lainnya hanya sebatas teman
biasa. Tiap hari, yang menemaniku di tempat kos, hanya dia. Ya, walaupun tidak
setiap malam dia menginap ditempatku. Tapi kami sering meluangkan waktu
bersama, bersenda gurau, nongkrong, atau sekedar jalan-jalan menikmati suasana
kota Yogyakarta.
Jam
menunjukkan pukul 4 sore, waktu setempat. Kulihat Linda sedang berdiri di
balkonnya, menikmati indahnya suasana kota Venesia. Rambutnya ikal, berwarna
coklat, dengan hidung mancung, kulit putih bersih, dan berparas cantik.
Wajahnya serupa dengan namanya: Linda, dalam bahasa Italia yaitu bidadari.
Huft,
aku ingin mandi, sudah hampir 20 jam badanku lengket, penuh keringat. Aku
mengambil peralatanku, dan segera izin untuk memakai kamar mandinya. Linda
mengangguk sambil tertawa kecil, “Lisa, ini Eropa, bukan Yogyakarta. Lakukan
apa yang ingin kau lakukan selama itu tidak mengganggu orang lain. Jangan
terlalu kaku disini, atau kau akan ditertawakan orang. Buon divertimento, Lisa. Enjoy your new environtment.”
Selesai
mandi, Linda mengajakku untuk berkeliling sambil menikmati indahnya Venesia di
sore hari. Jam menunjukkan pukul 16.30, matahari hangat menghiasi kota ini.
Membuatnya semakin cantik dengan dihiasi gondola
yang berlalu lalang disepanjang kanal tanpa henti. Linda memutuskan untuk
mengajakku menaiki salah satu gondola terdekat.
“Zio Francesco!” serunya seraya melihat
seorang lelaki paruh baya tengah memarkirkan gondolanya ke tepi. Lelaki
tersebut membalas sapaan itu dengan senyuman hangat dan sebuah lambaian tangan.
“Itu
pamanku, namanya Francesco. Dia adalah seorang gondoliers, pengemudi gondola. Itu adalah gondola satu-satunya
miliknya, dia sangat senang memilikinya, setiap dua minggu dia mencucinya
didepan rumahnya. Menjaganya agar tetap cantik,” jelas Linda yang nampaknya
tidak sabar menemui pamannya. Setelah menuruni beberapa anak tangga, dia
melanjutkan penjelasannya. “Sebuah gondola biasanya diisi oleh 6 penumpang acak
yang akan membawa kita menelusuri kanal-kanal di Venesia, persis seperti
angkutan kota di Indonesia. Walaupun dengan tarif yang terbilang tinggi,
gondola-gondola disini tidak pernah sepi penumpang.” Ujarnya bangga.
“Aku
diajak untuk naik itu?” tanyaku agak malu-malu.
Linda
menoleh kepadaku dan merogoh dompetnya. “Kenapa? Tenang, oleh pamanku akan
dikenakan potongan harga. Kamu ikut saja, dijamin puas” bujuknya. Aku hanya
mengangguk dan mengikutinya menaiki gondola.
“Paman
Francesco, kenalkan ini temanku, Lisa. Dia baru saja datang dari Indonesia
beberapa jam yang lalu.” Jelas Linda.
Aku
lantas menjulurkan tanganku untuk berjabat tangan,“Ciao,”sapaku dengan hangat.
“Kalian
berdua walaupun tidak berwajah mirip, tetapi sama cantiknya.”
“Ugh,
lelaki tua penggoda” gumamku dalam hati.
Perjalanan
kami lanjutkan dengan penumpang-penumpang lain. Pandanganku tersebar liar
kearah bangunan ditepi kanal. Saat melihat kebelakang untuk memfoto sebuah
objek, pandanganku terpaku kepada seorang pria, sangat tampan, postur badannya
ideal, alis dan rambutnya tebal, berhidung mancung, dan berkulit bersih. Aku
terpana. Tanpa sadar, aku mengarahkan titik fokus kearah wajahnya. Dan...
“CLICK...!”
suara efek kameraku membuatnya menoleh kearahku, dan menatapku dengan tajam.
Aku langsung membalikkan tubuhku dan menundukkan wajahku, berharap dia tidak
terlalu mengenali wajahku nantinya. Geli. Aku takut, lalu setelahnya aku malah
senyum-senyum sendiri.
Aku
mengajak Linda turun dari gondola. Sepertinya didepan ada sebuah pasar, pasar
yang agak besar di Venesia. Linda memutuskan untuk tetap menemani Paman
Francesco menyusuri kanal. Tetapi perutku sudah tidak bisa diajak kompromi, aku
sangat lapar. Aku memutuskan untuk turun dari gondola. Lalu aku melambaikan
tangan ke Linda, Paman Francesco, dan berlalu. Kulihat pria yang tidak sengaja
kufoto juga ikut turun ditempat yang sama. Kelihatannya dia sedang berusaha
membuka sebuah kemasan kecil, aku lihat kemasannya bertuliskan ‘il pomodoro
rosso’, “Oh saus tomat,” gumamku. Sepertinya dia berjalan tepat dibelakangku,
dan aku mendengar suaranya menggerutu karena kesulitan membuka kemasan
tersebut. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu cairan mendarat tepat di pundakku.
Aku langsung melihat itu, dan ternyata, saus tomat yang berusaha dia buka malah
muncrat ke pundakku. Aku belum mengatakan sepatah katapun saat itu, kulihat
waja pria itu, wajahnya menunjukkan bahwa ia terkejut.
“Nona,
maaf bila....,” tidak sempat dia menyelesaikan kata-katanya. Dia membalikkan
tubuhku. “Kau yang tadi memotretku itu, kan?”
Celaka,
aku ketauan. Wajahku panik, takut kalau ia akan memarahiku karena telah
bersikap tidak sopan. Aku teringat kata Linda, “Lakukan apa yang ingin kau lakukan selama itu tidak mengganggu orang
lain”. Semoga aku tidak mengganggunya
Lalu
dia bertanya dengan nada datar, “bisa aku lihat fotonya?”
“Ayolah
tidak apa, aku hanya ingin lihat,” lanjutnya pelan. Sepertinya bahasa Italianya
masih kurang fasih.
Aku
menyerahkan kameraku, membiarkan dia melihat fotonya.
“Bukan
main!” Ujarnya.
Aku
semakin takut, takut kalau dia tidak terima dengan hasil fotoku, yang kulakukan
tanpa membidik objek yang benar. Karena aku melakukan pengambilan foto secara
non-visual. Mataku malah tertuju ke wajahnya, saat itu.
“Nona,
foto ini luar biasa. Numero uno!
Lihat ini,” ujarnya sambil menunjukkan hasil foto itu.
“Momentum,
titik fokus, pencahayaan, semua bagus. Apa kau fotografer professional? Dan aku
lihat tadi, kau melakukannya tanpa membidik. Benar, kan?” Tanyanya penasaran.
Aku
terkejut mendengar penyataannya. Aku akui, itu sebuah keberuntungan. Aku juga
ikut terkesima melihat jepretan fotoku. “Tidak, Tuan. Saya bukan fotografer
profesional, maaf jika tidak sopan, tadi maksud saya hanya..., hanya ingin
memotret sebuah bangunan ditepi kanal.” Duh, aku jadi terlihat bodoh
didepannya. Gugup sendiri.
“Ya,
memang. Orang ahli tidak akan puas dengan hasil karyanya. Tunggu..., kau
memanggilku apa tadi, Tuan? Berapa umurmu, 16? 17?” tebaknya
“Umurku
21 tahun.” Ujarku.
“21
tahun?! Oke, maaf-maaf, aku tidak tau. Kau tau? kau terlihat lebih muda dari
wanita lain” ia pun tertawa kecil. Lalu ia berkata, “Namaku Hakan Aslan. Kau
bisa memanggilku Hakan, atau Aslan, atau sesukamu.”
“Lisa
adrianna.” Ucapku sambil membalas jabatan tangannya. Aku memberanikan diri
bertanya padanya, “Kau dari Turki?”
“Tau
darimana?” tanyanya santai.
“Dari
namamu tentunya. Dari caramu berbicara bahasa Italia. Ya, memang orang Turki
kurang menyukai bahasa kecuali tiga: Bahasa Turki, Bahasa Arab, dan Bahasa
Jerman. Betul, kan?” tanyaku.
“Ya...,
darimana kau tau semua itu?” tanyanya dengan dercak kagum di wajahnya.
“Ada sih, satu lagi. Aku belum pernah
menemukan wajah pria atau wanita Turki yang tidak tampan atau cantik” ujarku
dengan agak menggoda.
Dia
yang sedang menengguk air mineral yang dibawanya, tersedak. “Ehm, sekarang
beritau aku darimana asalmu?”
“Aku
lahir di...,” aku tidak sempat melanjutkan kata-kata. Mulutku langsung tertutup
rapat, lambungku sakit. Aku sangat lapar.
“Ada
apa, Lisa?” Tanyanya penasaran.
“Bisa
kita mencari suatu tempat untuk makan? Aku sangat lapar?” Ajakku sambil
menunjuk suatu tempat makan bergaya klasik ditepi jalan. Sebenarnya, aku hanya
asal menunjuk. Tapi, kali ini aku mungkin beruntung lagi, karena tempatnya
ramai pengunjung.
“Jadi
kau mengajakku kencan?” ledeknya.
“Kau
mau ikut tidak?” ujarku menanyakan kepastiannya.
“Sebenarnya
aku....,” sebelum dia selesai melanjutkannya. Aku berlalu dari hadapannya
karena tidak tahan dengan perutku.
“Maaf,
aku duluan.” Ujarku seraya berlalu kedalam restoran. Aku lihat Hakan tidak
mengikutiku dan berjalan kearah sebaliknya. Aku sedikit menyesal, tapi aku
tidak tahan. Andai saja aku tidak begini, dia mungkin berhasil kubujuk untuk
makan bersamaku. Aku langsung memesan Calzone, adalah
makanan yang berbentuk seperti pastel ukuran jumbo, tetapi masih satu varian
dari Pizza. Lalu aku memesan Panna Cotta con Fragole –semacam puding dengan
topping stoberi dan ditambahkan beberapa bahan opsional, seperti biskuit– sebagai hidangan penutup. Rasanya perutku
sudah terisi dengan dua hal itu. Lalu pelayan memberikan bill kepadaku. Duh,
uangnya pas. “Aku pulang naik apa?” gumamku dalam hati. Aku memutuskan untuk
berjalan kaki dari restoran, jaraknya hanya sekitar 3 km dari sini.
“Huft..., lumayan lah, lihat-lihat
Venesia sekalian olahraga.” Desahku pelan.
Benar
saja, kota ini menawarkan sejuta kesan, sejuta warna, sejuta keeksotisan sebuah
kota klasik di Italia. Aku suka pemandangannya. Aku ingin mengambil beberapa
foto untuk kenanganku nanti. Tapi....,
“Kameraku
dimana?!”. Aku terkejut, bukan main, tidak biasanya aku seceroboh ini. Aku
mencoba mengingat kembali momen apa yang telah kulewati. Pertama, saat memfoto
Hakan. Kedua, saat bercakap dengannya. Ketiga, berpisah dengannya. Dan?
Kameraku masih ada padanya? Apa dia pencuri....?
Komentar
Posting Komentar