Langsung ke konten utama

Cerpen: Amare il Posto part 1


2 hari menuju keberangkatanku, aku tengah berada di salah satu pusat perbelanjaan bersama sahabatku Vina. Namaku Lisa Adrianna. Kami berdua tengah berjalan mencari perlengkapan yang mungkin akan kubawa merantau nanti. Koper, beberapa pakaian, alat kecantikan, semua sudah. Mungkin aku akan membeli beberapa makanan kecil untuk nanti. Tiba-tiba Vina mengajakku ke suatu tempat.

“Eh, kita kesitu yuk! Gue udah laper banget nih, Sa. Lo daritadi keliling disini nggak laper?” tanya Vina sembari menujuk salah satu tempat makanan.

“Emang sebelum kesini, kamu belum makan, Vin?” ucapku balik menanya Vina.

“Udah sih, tapi gue laper lagi. Udahlah temenin ayo, gue bayarin, deh” ajak Vina sambil menarik tanganku untuk kesana.

“Tapi kita belum beli snack yang mau aku bawa, Vin” bantahku sambil menahan tarikan tangannya.

“Lo mau gue mati di mall gara-gara kelaperan?” sahut Vina kesal.

“Iya deh, iya. Tapi abis ini kamu gantian ikut aku, dan jangan lupa traktir aku, ya?” ujarku dengan nada setengah meledek. Lumayan, dibayarin. Trik ini sudah kulakukan sejak lama. Mengulur waktu, sampai orang tersebut memohon, lalu mereka akan mengajukan penawaran yang menggiurkan. Agak kejam sih, nampaknya. Tapi worth it.

Oiya, aku bersekolah di salah satu perguruan tinggi ternama di Yogyakarta. Aku mengambil fakultas musik di universitasku dan aku akan menjalankan beasiswaku untuk terbang ke Italia. Tepatnya di Venesia, kota dengan ribuan kanal cantik, dengan gaya bangunannya yang unik menjadikan kota ini salah satu tujuan utama bagi para pelancong. Disana aku hanya perlu membayar uang sehari-hari dan uang transportasi. Segala urusan administrasi pendidikan sudah ditanggung oleh beasiswaku. Aku tidak sabar merasakan suasana kota Venesia. Tiap malam aku membayangkan berada disana, menaiki perahu menyusuri kanal, dan bersantai sambil minum cappucino khas Italia. Lamunanku saat itu tiba-tiba dibuyarkan oleh Vina.

“Eh! Kok lo bengong sih? Ntar kesambet, lho. Mikirin apa, sih?” ujar Vina sambil menyenggol bahuku.

“Ugh..., kamu mau tau aja sih, Vin?” ujarku kesal.

“Lah, gue kan cuma nanya, Sa. Oh gue tau, lo kan bentar lagi ke Italia, lo pasti lagi mikirin muka-muka cowok italia, ya?” ledek Vina.

“Nggak usah nebak-nebak deh, Vin. Aku cuma lagi bayangin suasana kota Venesia aja, kok” ujarku dengan wajah cemberut.

“Yaudah, yuk. Katanya Tuan Putri gue yang paling manja ini mau mencari snack? Jadi nggak?” ujar Vina sambil tersenyum meledek.

“Iya, iya, jadi” ujarku pelan sambil meraih tasku. Selesai membeli semua perlengkapan yang sudah kurencanakan, aku dan Vina pulang kerumah masing-masing.



Sesampainya dirumah, aku mengistirahatkan tubuhku yang penat sehabis berbelanja diranjangku. Aku memang mudah lelah jika berbelanja, karena aku memang tidak suka shopping. Tiba-tiba ponselku berdering dari dalam tas, kulihat itu Profesor Tris, rektor di universitasku.

            “Selamat siang, Prof” sapaku dengan hangat.

“Siang, Lisa. Hmm.., begini. Saya akan membicarakan masalah beasiswamu” ujar Profesor dengan nada agak cemas.

“Apakah ada yang salah, Prof?” tanyaku penasaran.

“Tidak, hanya saja ada satu masalah kecil. Ya walaupun tidak bisa dikatakan kecil secara keseluruhan”.

“Apa itu, Prof?” aku semakin penasaran.

“Begini, jadwal penerbanganmu dipercepat 12 jam. Jadi kau harus berangkat dari sini sekitar siang hari, besok” jelas profesor.

“Apa ada kendala berarti sehingga jadwalku harus dipercepat, Prof?”

“Ya..., kendala ini berasal dari pihak universitas yang akan kau jalani di Venesia. Mereka bilang, ini masalah administrasi yang harus segera dilunasi. Saya harap, kau maklumi saja. Saya sudah mencoba bernegosiasi dengan pihak disana, tapi hasilnya nihil” jelas profesor.

“Begitu ya?” desahku pelan.

“Ada apa, Lisa? Apa ada masalah yang berarti jika kau berangkat besok? Segala urusan keberangkatan telah diurus oleh pihak kami” ujar Profesor meyakinkan.

“Tidak, Prof. Terima kasih atas info dan bantuannya. Selamat siang” ujarku seraya mematikan telfon dan melemparnya ketepi ranjang.



            Aku harus menyiapkan semuanya lebih cepat. Malam itu, aku telah selesai mengemas barang-barangku beserta perlengkapan yang harus kubawa. Dan malam itu juga, aku ingin sekali menelfon Vina. Tapi tampaknya sudah terlalu malam. Jam sudah menunjukkan pukul 00.00 tepat tengah malam. Aku memutuskan untuk mengirimkan pesan untuknya sebelum pergi tidur.

            “Vin, sorry ya baru kasih kabar ke kamu dan sorry juga kirim pesannya tengah malam begini. Aku akan berangkat ke Italia besok siang, Vin. Profesor Tris bilang ke aku kalau jadwal penerbangan dipercepat 12 jam. Jadi kalau kamu besok mau nganterin aku ke bandara, pagi ini kamu harus ada dirumahku, oke?” aku langsung mematikannya dan men-charge handphoneku lalu kuletakkan disebelah tempat tidurku.



            Pagi ini, aku akan berangkat ke Venesia. Aku menelfon keluargaku yang berada di Palembang, dan tidak lupa juga aku menelfon Vina. Tidak lama, Vina datang kerumahku. Rencananya dia akan mengantarku ke Bandara Internasional Adisucipto. Kita segera memesan taksi ke bandara. Tibalah kami di bandara. Tiketku sudah diberikan oleh seseorang yang telah dipesan oleh profesor Tris di bandara. 2 jam sebelum boarding pesawatku ke Italia, aku berpamitan ke Vina karena aku harus masuk ke lounge yang khusus untuk calon penumpang pesawat

            “Vin, aku pergi ya. Kamu jaga diri disini, semoga kuliahmu lancar ya. Kamu nggak apa kan?” ujarku sembari memeluk Vina

“Iya, Sa. Gue bakalan kangen banget deh pasti sama lo. Lo juga jaga diri disana. Di negara asing jangan gampang percaya sama orang. Nanti kita tetep stay in line, kan?” tanya Vina.

“Iya Vin, iya. Kita tetep jaga kontak, kok. Kamu kenapa jadi sok nasihatin gini, Vin? Sedih ya? Sahabat satu-satunya, pergi jauh ke Italia?” tanyaku diselingi tertawa kecil.

“Ih apaan, sih?” bantah Vina.

“Nanti mungkin sesekali aku akan kesini. Kamu mau aku bawain apa darisana?” tanyaku.

“Bawain cowok Italia aja, deh” ledek Vina.

“Iya deh, nanti aku bawain. Tapi jangan kaget ya. Nanti udah jadi pacar aku duluan” ujarku membalas ledekan Vina

“Emang ada yang mau ama lo? Yang ada mereka bakalan naksir duluan ke gue, keles. Soalnya, jumlah mantan gue ama lo? Banyakan punya gue, kan kan?”. Ujarnya dengan setengah jumawa. Kuakui, Vina memang jago dalam hal meledek orang. Kami lalu tertawa untuk yang terakhir kalinya. Setidaknya, untuk waktu yang lama.

Panggilan terakhir telah diumumkan kepada calo penumpang untuk segera memasuki lounge. Aku mengucapkan salam terakhir kepada Vina, sebelum akhirnya berlalu dari hadapannya. Aku mempercepat langkahku, dan akhirnya aku boarding ke pesawat.

 Sto arrivando, Italia!


Aku menikmati suasana diatas pesawat memandang langit di pagi hari yang indah. Untungnya, aku mendapat kursi persis disebelah jendela, sehingga bisa melihat pemandangan luar. Jujur saja, ini baru yang kedua kalinya aku naik pesawat. Pertama kali saat aku pindah dari Palembang ke Yogyakarta untuk meneruskan kuliahku, dan ini yang kedua. Ditambah lagi, saat penerbanganku yang pertama kursiku tidak terletak disebelah jendela.
Pesawat yang kutumpangi transit ke Singapura selama beberapa jam. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku pergi berkeliling disekitar Bandara Internasional Chang-I sembari membeli beberapa cinderamata kecil.
Perjalananku berlanjut. Di pesawat, selain puas melihat pemandangan luar, aku juga puas menonton beberapa film di headrest penumpang yang tersedia. Akhirnya aku sampai di Bandara Internasional Venice Marcopolo. Penerbangan yang memakan waktu lebih dari 14 jam ini lumayan menguras tenaga. Kepalaku terasa sedikit pusing, telingaku juga sakit. Ini pertama kalinya aku mengalami hal seperti ini. Aku dipesan untuk menemui seorang perempuan oleh Profesor Tris yang nantinya akan menemaniku di Venesia, dan aku langsung menanyakan hal ini padanya. Dia bilang aku mengalami Jetlag —sebuah kondisi psikologis akibat perubahan ritme circadian. Perubahan ini disebabkan oleh perjalanan melewati meridian, atau penjangnya hari yang berubah yang mengganggu putaran terang gelap yang mengubah periode ritme circadian tubuh— dan dia menyarankan untuk beristirahat sejenak sebelum meneruskan perjalanan ke hotel.
Kami berdua memutuskan untuk singgah di salah satu cafe di Venesia. Tampilan depan cafe ini begitu bersahabat. Kanopi berwarna merah yang dipadukan dengan sedikit warna putih semakin membuatku kagum. Lantai yang terbuat dari hardwood, dan dilengkapi dengan style klasik membuatku semakin menyukai tempat ini. Kami memutuskan untuk memesan dua cangkir espresso. Menengguk secangkir espresso membuatku lebih baik sekaligus menghangatkan tubuhku yang tidak biasa terkena udara dingin.
Inilah mengapa orang Italia menyukai kopi!

Perjalanan berlanjut. Aku bahkan belum sempat berkenalan dengan orang itu. Ternyata namanya Linda. Nama yang cukup familiar didengar oleh orang Indonesia. Dulu, dia juga sempat tinggal di Indonesia selama enam bulan sehingga aku tidak begitu sulit untuk berkomunikasi dengannya. Kosakata bahasa Italiaku pun masih banyak yang harus diperbaiki, sehingga aku bisa belajar darinya.
Diperjalanan, aku sempat melewati universitas yang akan menjadi tempatku nantinya. Cukup megah. Itulah kesan pertama yang terlintas dipikiranku.
Aku rencananya akan tinggal bersamanya disebuah apartemen di tepi kota Venesia. Apartemen kami hanya terletak 3 km dari universitasku, sehingga aku hanya perlu berjalan kaki tiap harinya. Bangunan apartemen kami ternyata berbentuk seperti semacam gedung mini, dengan banyak ukiran di dindingnya sehingga terlihat sangat cantik dipandang.
Akhirnya aku sampai di apartemen Linda. Petugas resepsionis memberi senyuman hangat kepada kami. Petugas penjaga lift lalu membawa barangku –Koper dan tas besar–  ke dalam kamar. “Grazie,”kataku lembut sembari memberinya satu euro sebagai uang tip. Dia tersenyum dan membawa barangku kedepan kamar. “Jika kau butuh apapun, kau bisa menelfon kami kebawah, Nona.” Ujarnya dengan logat Italia yang khas.
“Silakan masuk, Lisa. Casa dolce casa, Lisa. Home sweet home,” ujarnya seraya membantuku masuk dan menunjukkan sebuah kamar minimalis dengan style klasik – tepi pilar yang diukir dengan cantik, lukisan, perabotan, dan lain sebagainya– yang tampak memukau.
“Sudah berapa lama kau tinggal disini Linda?” tanyaku penasaran. Mataku tak bisa lepas untuk melihat sekeliling kamar apartemen miliknya ini.
“Sekitar dua tahun,” ujarnya singkat. “Sebelum itu, kau dimana?” lanjutku.
“Dirumah ibuku, letaknya agak jauh dari sini. Dia tinggal di San Marino, tepatnya disebuah rumah di Monte Titano,” jelasnya. “Tapi sekarang disana sudah tidak ada siapapun.” Pandangannya lalu tertunduk. Aku menghampirinya, tampaknya dia menangis. Dia teringat kenangan pahit yang menimpa mereka. Aku memegang pundaknya, “Tak apa, Linda. Aku bisa jadi pendengar yang baik”
“6 tahun lalu, aku baru bisa mengemudikan kendaraan. Di malam hari, kita berada ditengah dinginnya Monte Titano. Jalan yang licin tertutup salju, udara yang dipenuhi kabut, mewarnai perjalanan kami. Aku dan mamaku bercakap-cakap, bersenda gurau, saat itu. Mama menceritakan lelucon terbaiknya, dan kami berdua tertawa lepas. Didepan kami, lampu lalulintas telah berubah warna menjadi merah, tetapi aku tidak melihatnya. Aku melihatnya saat posisi mobil kami tepat dibawah lampu lalulintas tersebut, kurasa. Tapi jalannya licin, aku tidak mungkin mengerem mendadak atau mobil kami akan tergelincir. Lalu...,” desak tangis Linda semakin kuat. Aku meraihnya, lalu memeluknya.
“Lalu..., tanpa kami sadari, ada mobil SUV melaju cepat dari arah pintu tempat mamaku duduk. Kami bertabrakan, mobil sedan yang kami kendarai hancur dibagian kanan. Dan kami dibawa kerumah sakit terdekat. Mamaku kritis, sedangkan aku mengalami luka yang cukup parah. Dan setelah dua hari kritis, mamaku meninggal dirumah sakit tersebut.” Papar Linda. Lalu dia mengambil sehelai tisu dan mengusap matanya yang sembab.
Linda tampak menyesal saat dia teringat dengan peristiwa tersebut, “Jika saja aku tidak lengah malam itu..., semua tidak akan terjadi”.
“Aku turut berduka, Lin” ujarku sedih. Aku meninggalkan Linda yang masih duduk di balkon kamarnya. Lalu aku masuk kedalam dan memutuskan untuk beristirahat sejenak, melepas penat setelah perjalanan panjang.
“TRRRT..., TRRRT...!” suara dering HP-ku membangunkanku. Ada SMS yang masuk. Kulihat, ternyata dari Vina. Aku memutuskan untuk membacanya.
Hai hai yang lagi ada di Italia! Baru sehari aja, udah bikin kangen gak ada lo. Yogya terasa sepi. Nggak ada temen yang ngajak jalan ke pasar, nongkrong, atau ketawa-tawa lagi. Gimana kabar disana, masih ‘idup’ kan? Hehe. Bercanda. Gue kangen, cepet pulang ya, Sa.”
Tanpa sadar, aku menggelengkan kepalaku, berdecak keheranan. Kadang, aku juga merasa kasihan sama Vina. Dia tidak punya banyak teman ngobrol di kampusnya. Satu-satunya yang paling dekat hanya aku. Ya, yang lainnya hanya sebatas teman biasa. Tiap hari, yang menemaniku di tempat kos, hanya dia. Ya, walaupun tidak setiap malam dia menginap ditempatku. Tapi kami sering meluangkan waktu bersama, bersenda gurau, nongkrong, atau sekedar jalan-jalan menikmati suasana kota Yogyakarta.
Jam menunjukkan pukul 4 sore, waktu setempat. Kulihat Linda sedang berdiri di balkonnya, menikmati indahnya suasana kota Venesia. Rambutnya ikal, berwarna coklat, dengan hidung mancung, kulit putih bersih, dan berparas cantik. Wajahnya serupa dengan namanya: Linda, dalam bahasa Italia yaitu bidadari.
Huft, aku ingin mandi, sudah hampir 20 jam badanku lengket, penuh keringat. Aku mengambil peralatanku, dan segera izin untuk memakai kamar mandinya. Linda mengangguk sambil tertawa kecil, “Lisa, ini Eropa, bukan Yogyakarta. Lakukan apa yang ingin kau lakukan selama itu tidak mengganggu orang lain. Jangan terlalu kaku disini, atau kau akan ditertawakan orang. Buon divertimento, Lisa. Enjoy your new environtment.

Selesai mandi, Linda mengajakku untuk berkeliling sambil menikmati indahnya Venesia di sore hari. Jam menunjukkan pukul 16.30, matahari hangat menghiasi kota ini. Membuatnya semakin cantik dengan dihiasi gondola yang berlalu lalang disepanjang kanal tanpa henti. Linda memutuskan untuk mengajakku menaiki salah satu gondola terdekat.
Zio Francesco!” serunya seraya melihat seorang lelaki paruh baya tengah memarkirkan gondolanya ke tepi. Lelaki tersebut membalas sapaan itu dengan senyuman hangat dan sebuah lambaian tangan.
“Itu pamanku, namanya Francesco. Dia adalah seorang gondoliers, pengemudi gondola. Itu adalah gondola satu-satunya miliknya, dia sangat senang memilikinya, setiap dua minggu dia mencucinya didepan rumahnya. Menjaganya agar tetap cantik,” jelas Linda yang nampaknya tidak sabar menemui pamannya. Setelah menuruni beberapa anak tangga, dia melanjutkan penjelasannya. “Sebuah gondola biasanya diisi oleh 6 penumpang acak yang akan membawa kita menelusuri kanal-kanal di Venesia, persis seperti angkutan kota di Indonesia. Walaupun dengan tarif yang terbilang tinggi, gondola-gondola disini tidak pernah sepi penumpang.” Ujarnya bangga.
“Aku diajak untuk naik itu?” tanyaku agak malu-malu.
Linda menoleh kepadaku dan merogoh dompetnya. “Kenapa? Tenang, oleh pamanku akan dikenakan potongan harga. Kamu ikut saja, dijamin puas” bujuknya. Aku hanya mengangguk dan mengikutinya menaiki gondola.
“Paman Francesco, kenalkan ini temanku, Lisa. Dia baru saja datang dari Indonesia beberapa jam yang lalu.” Jelas Linda.
Aku lantas menjulurkan tanganku untuk berjabat tangan,“Ciao,”sapaku dengan hangat.
“Kalian berdua walaupun tidak berwajah mirip, tetapi sama cantiknya.”
“Ugh, lelaki tua penggoda” gumamku dalam hati.
Perjalanan kami lanjutkan dengan penumpang-penumpang lain. Pandanganku tersebar liar kearah bangunan ditepi kanal. Saat melihat kebelakang untuk memfoto sebuah objek, pandanganku terpaku kepada seorang pria, sangat tampan, postur badannya ideal, alis dan rambutnya tebal, berhidung mancung, dan berkulit bersih. Aku terpana. Tanpa sadar, aku mengarahkan titik fokus kearah wajahnya. Dan...
“CLICK...!” suara efek kameraku membuatnya menoleh kearahku, dan menatapku dengan tajam. Aku langsung membalikkan tubuhku dan menundukkan wajahku, berharap dia tidak terlalu mengenali wajahku nantinya. Geli. Aku takut, lalu setelahnya aku malah senyum-senyum sendiri.

Aku mengajak Linda turun dari gondola. Sepertinya didepan ada sebuah pasar, pasar yang agak besar di Venesia. Linda memutuskan untuk tetap menemani Paman Francesco menyusuri kanal. Tetapi perutku sudah tidak bisa diajak kompromi, aku sangat lapar. Aku memutuskan untuk turun dari gondola. Lalu aku melambaikan tangan ke Linda, Paman Francesco, dan berlalu. Kulihat pria yang tidak sengaja kufoto juga ikut turun ditempat yang sama. Kelihatannya dia sedang berusaha membuka sebuah kemasan kecil, aku lihat kemasannya bertuliskan ‘il pomodoro rosso’, “Oh saus tomat,” gumamku. Sepertinya dia berjalan tepat dibelakangku, dan aku mendengar suaranya menggerutu karena kesulitan membuka kemasan tersebut. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu cairan mendarat tepat di pundakku. Aku langsung melihat itu, dan ternyata, saus tomat yang berusaha dia buka malah muncrat ke pundakku. Aku belum mengatakan sepatah katapun saat itu, kulihat waja pria itu, wajahnya menunjukkan bahwa ia terkejut.
“Nona, maaf bila....,” tidak sempat dia menyelesaikan kata-katanya. Dia membalikkan tubuhku. “Kau yang tadi memotretku itu, kan?”
Celaka, aku ketauan. Wajahku panik, takut kalau ia akan memarahiku karena telah bersikap tidak sopan. Aku teringat kata Linda, “Lakukan apa yang ingin kau lakukan selama itu tidak mengganggu orang lain”. Semoga aku tidak mengganggunya
Lalu dia bertanya dengan nada datar, “bisa aku lihat fotonya?”
“Ayolah tidak apa, aku hanya ingin lihat,” lanjutnya pelan. Sepertinya bahasa Italianya masih kurang fasih.
Aku menyerahkan kameraku, membiarkan dia melihat fotonya.
“Bukan main!” Ujarnya.
Aku semakin takut, takut kalau dia tidak terima dengan hasil fotoku, yang kulakukan tanpa membidik objek yang benar. Karena aku melakukan pengambilan foto secara non-visual. Mataku malah tertuju ke wajahnya, saat itu.
“Nona, foto ini luar biasa. Numero uno! Lihat ini,” ujarnya sambil menunjukkan hasil foto itu.
“Momentum, titik fokus, pencahayaan, semua bagus. Apa kau fotografer professional? Dan aku lihat tadi, kau melakukannya tanpa membidik. Benar, kan?” Tanyanya penasaran.
Aku terkejut mendengar penyataannya. Aku akui, itu sebuah keberuntungan. Aku juga ikut terkesima melihat jepretan fotoku. “Tidak, Tuan. Saya bukan fotografer profesional, maaf jika tidak sopan, tadi maksud saya hanya..., hanya ingin memotret sebuah bangunan ditepi kanal.” Duh, aku jadi terlihat bodoh didepannya. Gugup sendiri.
“Ya, memang. Orang ahli tidak akan puas dengan hasil karyanya. Tunggu..., kau memanggilku apa tadi, Tuan? Berapa umurmu, 16? 17?” tebaknya
“Umurku 21 tahun.” Ujarku.
“21 tahun?! Oke, maaf-maaf, aku tidak tau. Kau tau? kau terlihat lebih muda dari wanita lain” ia pun tertawa kecil. Lalu ia berkata, “Namaku Hakan Aslan. Kau bisa memanggilku Hakan, atau Aslan, atau sesukamu.”
“Lisa adrianna.” Ucapku sambil membalas jabatan tangannya. Aku memberanikan diri bertanya padanya, “Kau dari Turki?”
“Tau darimana?” tanyanya santai.
“Dari namamu tentunya. Dari caramu berbicara bahasa Italia. Ya, memang orang Turki kurang menyukai bahasa kecuali tiga: Bahasa Turki, Bahasa Arab, dan Bahasa Jerman. Betul, kan?” tanyaku.
“Ya..., darimana kau tau semua itu?” tanyanya dengan dercak kagum di wajahnya.
“Ada sih, satu lagi. Aku belum pernah menemukan wajah pria atau wanita Turki yang tidak tampan atau cantik” ujarku dengan agak menggoda.
Dia yang sedang menengguk air mineral yang dibawanya, tersedak. “Ehm, sekarang beritau aku darimana asalmu?”
“Aku lahir di...,” aku tidak sempat melanjutkan kata-kata. Mulutku langsung tertutup rapat, lambungku sakit. Aku sangat lapar.
“Ada apa, Lisa?” Tanyanya penasaran.
“Bisa kita mencari suatu tempat untuk makan? Aku sangat lapar?” Ajakku sambil menunjuk suatu tempat makan bergaya klasik ditepi jalan. Sebenarnya, aku hanya asal menunjuk. Tapi, kali ini aku mungkin beruntung lagi, karena tempatnya ramai pengunjung.
“Jadi kau mengajakku kencan?” ledeknya.
“Kau mau ikut tidak?” ujarku menanyakan kepastiannya.
“Sebenarnya aku....,” sebelum dia selesai melanjutkannya. Aku berlalu dari hadapannya karena tidak tahan dengan perutku.
“Maaf, aku duluan.” Ujarku seraya berlalu kedalam restoran. Aku lihat Hakan tidak mengikutiku dan berjalan kearah sebaliknya. Aku sedikit menyesal, tapi aku tidak tahan. Andai saja aku tidak begini, dia mungkin berhasil kubujuk untuk makan bersamaku. Aku langsung memesan Calzone, adalah makanan yang berbentuk seperti pastel ukuran jumbo, tetapi masih satu varian dari Pizza. Lalu aku memesan Panna Cotta con Fragole –semacam puding dengan topping stoberi dan ditambahkan beberapa bahan opsional, seperti biskuit–  sebagai hidangan penutup. Rasanya perutku sudah terisi dengan dua hal itu. Lalu pelayan memberikan bill kepadaku. Duh, uangnya pas. “Aku pulang naik apa?” gumamku dalam hati. Aku memutuskan untuk berjalan kaki dari restoran, jaraknya hanya sekitar 3 km dari sini.
“Huft..., lumayan lah, lihat-lihat Venesia sekalian olahraga.” Desahku pelan.
Benar saja, kota ini menawarkan sejuta kesan, sejuta warna, sejuta keeksotisan sebuah kota klasik di Italia. Aku suka pemandangannya. Aku ingin mengambil beberapa foto untuk kenanganku nanti. Tapi....,
“Kameraku dimana?!”. Aku terkejut, bukan main, tidak biasanya aku seceroboh ini. Aku mencoba mengingat kembali momen apa yang telah kulewati. Pertama, saat memfoto Hakan. Kedua, saat bercakap dengannya. Ketiga, berpisah dengannya. Dan? Kameraku masih ada padanya? Apa dia pencuri....?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara menghilangkan password file di WinRAR

Sebelumnya maaf saya baru kembali menulis lagi di blog ini karena saya yang sedang menjalani Ujian Akhir Semester dan hari ini saya akan membagikan tips dan trik cara menghilngkan password file di WinRAR. Siapa yang nggak gelisah dengan file WinRAR yang dipassword? Apalagi kalau password tersebut hanya bisa didapatkan setelah kita menyelesaikan survey yang tersedia di web yang telah ditentukan. Dan survey tersebut juga merepotkan kita yang berada di negara kecil seperti Indonesia. Terkadang survey yang tersedia tidak cukup bervariasi atau bahkan tidak ada survey yang tersedia. Jadi, kita diharuskan memakai VPN dan memilih koneksi ke USA. Terlebih kalau survey yang akan kita selesaikan itu ribet dan akhirnya berujung kepada file password yang tidak terbuka. Sungguh menyebalkan, hehehe. Jadi, saya akan membagi tips dan trik kepada kalian pengguna WinRAR untuk menghilangkan password pada file berbasis WinRAR (.rar). Langsung saja kebawah WinRAR didefinisikan sebagai Pengarsip berbasis W

Sejarah pada masa pra-aksara

Menurut Marwati Djonoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, sejarah alam semesta lebih panjang dibandingkan umat manusia. Manusia pertama kali muncul sekitar zaman Pleistosen (3.000.000 sampai 10.000 tahun lalu) Asal usul Bumi dan mahluk hidup Ilmuwan meyakini Bumi terbentuk pertama kali saat adanya letusan Big Bang sekitar 13,7 milyar tahun yang lalu, ledakan ini menyebarkan material dalam jumlah banyak ke alam semesta lalu membentuk sistem tata surya. Dulu, Bumi berbentuk gumpalan gas panas yang kemudian berevolusi selama 2,5 miyar tahun untuk menjadi seperti sekarang. Menurut ilmu Geologi, proses berkembangnya Bumi melalui 4 tahapan. Yaitu masa Arkaekum, Paleozoikum, Mesozoikum, dan Neozoikum a.        Masa Arkaekum Masa ini terjadi sekitar 2,5 milyar tahun yang lalu. Dimasa ini tidak ada kehidupan karena bumi masih berbentuk bola gas panas yang bersuhu tinggi b.        Masa Paleozoikum Berlangsung sekitar 500-245jt tahun lalu. Kondisi Bumi mula