Langsung ke konten utama

Cerpen: Amare il Posto part 4


Tidak terasa, Venesia sudah menghanyutkanku dalam sejuta keindahan, sejuta kenangan, dan sejuta mimpi indah yang terkabul disini. Sudah banyak sekali hal yang aku lalui. Ya, sudah empat bulan aku disini. Dua bulan lagi, aku bertemu Vina, dan bertemu kota Yogyakarta. Saat ini, aku dan Linda mendapat kesempatan tidak masuk satu kali jadwal. Tentu kami memanfaatkannya.

“Liburan enam hari ini kemana, Lin?” tanyaku menggodanya.

“Kita ke Milan...!” serunya.

“Milan!” pekikku senang.

Ya, milan itu kota yang indah. Dilengkapi dengan galeri, toko-toko yang menghiasi tiap ruas jalan di Milan, katedral yang indah melengkapi cantiknya kota ini. Rencananya kita akan di Milan selama dua hari. Setelah itu, rencananya Linda ingin mengajakku kerumahnya dan bermalam disana. Rumahnya, rumah aslinya, San Marino. Kami berdua segera mengemas barang kami untuk liburan selama tiga hari.



Milan. Kota cantik yang terletak disebelah barat Venesia ini telah menjadi salah satu target wisata di Italia. Andai saja, beasiswaku untuk berkuliah di Milan. Ah, tapi kalau aku di Milan, mungkin aku tidak bertemu Linda dan..., Hakan. Dia lagi, dia lagi. Ugh, dia terus menghantui pikiranku. Membuatku tidak bisa fokus menikmati indahnya bangunan elegan di Milan. Linda yang daritadi menjelaskan mengenai kota Milan, tampaknya aku acuhkan.

Langit yang cerah, jalan-jalan di Milan yang tampak padat, menemani aktivitas kami di kota nan cantik ini. Berjuta pesona Italia memang terletak di kota-kota yang memiliki bangunan berarsitektur tinggi. Seperti Milan, Roma, Venesia, Napoli, dan sebagainya. Aku bahkan lebih suka kota bergaya arsitektur kuno daripada kota yang terlalu banyak dihiasi gedung bertingkat. Perjalanan dua hari di Milan terasa singkat. Terlalu singkat. Tapi apa daya, aku tidak bisa mendadak mengubah jadwal yang telah direncanakan sebelumnya. Ini saatnya aku dan Linda meninggalkan kota Milan

What’s next, Lin?” tanyaku. Kami memang sedang proses check out dari hotel yang kami tempati. Rasanya begitu sedih ingin meninggalkan Milan. Mungkin sebelum aku pulang ke Yogya, aku akan kesini lagi. Dan pulang ke Indonesia dari bandara Milan.

My Home!” Jawabnya singkat.

Itulah rumah Linda. Monte Titano, San Marino. Sebuah negara kecil yang berpisah dengan Italia, mirip seperti Timor Leste. Bahkan bahasa asli di San Marino masih menggunakan bahasa Italia. Hanya saja, San Marino sudah membuat Undang-Undang negara mereka sendiri. Negara kecil ini tidak pernah lepas dari kisah sejarahnya yang khas. Inilah mengapa kota kecil ini merupakan salah satu pilihan destinasi wisata para pelancong mancanegara.



Udara segar menyambut kedatangan kami di Monte Titano. Warna jingga, dan merah nan indah menghiasi langit sore kami. Kulihat Linda sedang sibuk menelfon seseorang. Aku putuskan untuk mengabadikan momen ini. Ya, aku mengambil kameraku dan memotret Linda yang melirik manis kearahku. Dengan bingkai langit jingga, dan beberapa burung yang melintas jauh, kurasa ini foto yang bagus.

Tiba-tiba Linda melepas telfonnya begitu saja. Pikirannya mendadak kosong dan pandangannya melihat jauh kedepan. Dia lantas menepikan mobilnya ke tepi jalan dan turun dari mobil. Udara dingin disini seakan tak bisa menghalanginya.

“Linda, ada apa? Ngeliat hantu? Masuk kedalam mobil cepet. Dingin tau diluar!” ujarku yang masih bingung dengan sikapnya.

Tak lama, Linda masuk kedalam mobil. Tetapi ekspresi wajahnya tiba-tiba sedih. Alisnya naik, mulutnya bisu, matanya sayu. Dia menatapku, aku kembali bertanya, “Linda, Ada apa?”

“Disini... Ya, disini. Tempatku tertawa dengan mamaku untuk yang terakhir kalinya. Lisa, peristiwa itu seakan terjadi seminggu yang lalu. Memorinya masih segar di pikiranku.” Jelasnya. Dahinya ditempelkannya di steer kemudi, kepalanya merunduk. Aku memutuskan untuk membiarkannya sendiri. Kebetulan, disebelah kami parkir ada kedai. Hmm..., semoga saja menjual kopi. Aku melangkah keluar dari mobil, dan masuk ke kedai tersebut. Kupikir segelas cappucino bisa menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Sementara aku, hanya meminum coklat panas kesukaanku, dan sekedar menghangatkan tubuh.

“Linda, aku bawa cappucino...” ujarku padanya. Kulihat kepalanya masih menempel di steer mobil, dan tidak meresponku.

“Linda, kamu nggak apa?” tanyaku yang mulai khawatir. Aku letakkan coklat panas yang baru kubeli, dan kubalikkan tubuh Linda.

“Linda!!!,” jeritku. Beberapa orang melihatku. “Aiuto! Ada orang pingsan disini!!” aku berteriak panik.

Seorang pemuda berjaket tebal berlari menghampiri kami. Dia langsung membopong tubuh Linda untuk berpindah ke kursi penumpang disebelah kursi driver.

“Masuk! Cepat!” seru pemuda itu. Dia memakai slayer penutup wajah dan membuatku sulit mengenalinya. “Tenang, aku tidak akan berbuat jahat kepada kalian. Percayalah.” Ucapnya. Aku tidak mendeteksi adanya kebohongan disini. Matanya tidak bergerak liar dan bentuknya tetap. Aku segera mengambil cappucinonya dan bergegas masuk pintu belakang.

Dia mengantarkan kami ke klinik terdekat di sekitar Monte Titano. Udara dingin saat itu membuatku semakin khawatir, ditambah lagi hari yang sudah semakin gelap. Aku beberapa kali mendengar suara burung bersahutan diantara kumpulan pohon.



“Suster! Ada pasien pingsan disini!” seru pemuda itu memanggil suster yang baru ingin berjalan masuk. Dari cara dia bicara seperti tidak asing bagiku. Tapi nadanya tidak terlalu jelas akibat tertutup oleh slayer miliknya

“Baik pak. Mari saya bantu bawa pasien tersebut” ujar suster tersebut.

“Kau ikutilah mereka kedalam” perintah pemuda itu padaku.

“Okay, okay. Terima kasih bantuannya.” Aku memberinya sejumlah uang tetapi ia menolaknya. Aku juga menawarinya minuman yang belum sempat tersentuh, tetapi juga ditolaknya.

“Jadi kau ini siapa?” tanyaku yang masih penasaran

Sen ne meraklimissin yaav?” ucapnya sambil tertawa kecil.

Aku mulai memutar otak. Aku semakin tidak asing dengan orang ini. Apakah kau....?

“Hakan?!!” seruku tidak percaya.

Dan, benar. Pemuda itu melepas penutup wajahnya. Kali ini, seorang pemuda Turki yang kukenal berdiri dihadapanku, dengan senyumannya yang khas. Aku melonjak girang laiknya seorang anak kecil berumur lima tahun yang diberi permen kesukaanku.

Wajahku tiba-tiba berubah ekspresi, “Tapi bagaimana bisa?” gumamku heran.

Oldu geçen edilecek. Kebetulan sedang lewat disana. Sedang ingin membeli menikmati Monte Titano. Tapi, aku kedinginan. Suhu disini agak berbeda dengan di Venesia, bahkan suhunya sedikit lebih dingin daripada Istanbul di musim dingin.” Jelasnya.

“Ya, untung aku pakai dua jaket tebal ini. Jadi tidak kedinginan. Hahaha” Aku tertawa kecil dengannya. Aku tak tahan melihat wajahnya, jadi aku putuskan untuk tundukkan wajahku.

“Kau memakai jaket ini seperti..., seperti boneka manequin yang terpajang di toko-toko di Milan, atau Paris, atau Istanbul. Hehe.” Ledeknya yang tertawa tipis.

“Hmmmpphh... Ya, daripada kedinginan.” Ujarku dengan mulut yang membulat dan memasang wajah cemberut.

“Insya Allah, kalau kamu ingin kesana. Ayo, aku bisa menjadi pemandu. Disana aku juga punya beberapa teman perempuan yang akan menemanimu seperti disini.” Ujarnya

Deg! Perasaan apa ini? Jantungku berdebar cepat. Tidak biasanya aku seperti ini. “Beneran?” Tanyaku tidak percaya.

“Ya, pakai uangmu tentu saja.” Ujarnya yang dilanjutkan dengan tawanya.

Duh, kenapa setiap orang yang kutemui sama konyolnya dengan Vina? Apa ini sebuah pertanda, Vina sudah rindu kepadaku? Oh! Tunggu sebentar, Vin. Dua bulan lagi aku pulang. Dan menghabiskan waktuku bersamamu.

Hening.



“Hakan...” ucapku memecah kesunyian.

“Ya...”

“Kau sudah pernah mempunyai teman dekat perempuan sebelumnya?” tanyaku. Duh, aku benar-benar sudah gila.

Hakan terdiam. Sedang berfikir untuk kata-kata yang akan diucapkannya. Matanya berkedip cepat, tetapi sepertinya dia tidak akan berbohong. Tiba-tiba terucap sebuah kata dari mulutnya. “Belum pernah.”

Perasaanku lega, sangat lega. Badanku rasanya hangat, walaupun kami diterpa angin malam yang dingin. “Lalu..., lalu apakah menurutmu wajar jika wanita yang mengungkapkan perasaannya duluan?” tanyaku lagi.

“Menurutku, wajar saja. Selama ia masih menjaga kehormatannya sebagai wanita.” Jawabnya santai.

“Jadi, apa boleh aku menjadi....”

“Pacar?” potongnya.

Aku terkejut, dan kaget, lalu segera kualihkan pandanganku kearah lain. Kulihat sekilas dia menyenderkan tubuhnya ketepi dinding. Suasana kembali hening.

“Kau tau, aku pernah baca sebuah buku. Buku yang sama saat kau berada dikelas pada hari pertama. Dibuku itu tertulis, ‘Cinta yang cepat lahir, maka akan cepat mati.’ Aku takut, Lisa. Hubungan kita kandas. Kau tau, jarak dari Istanbul ke Yogyakarta. Atau jarak dari Istanbul ke Minangkabau, tanah kelahiranmu. Atau ke Palembang, tempat kau tumbuh? Lebih dari 10.000 km jarak terbentang. Dalam kepercayaanku, aku cinta denganmu...,”

Aku kenal kalimat itu, dan akhirnya aku tau bunyi kalimatnya. Tapi, hatiku belum lega mendengar kalimat terakhirnya, aku menunggu kata ‘tetapi’ yang akan keluar.

“Tetapi aku belum bisa mencintaimu. Maksudku begini, aku cinta kepadamu sebagai seorang teman, seorang sahabat. Status ‘mencintai’ hanya kutujukan kepada Allah, keluargaku, dan calon keluargaku sendiri nantinya. Sementara status ‘cinta’ kuberikan kepada teman, kerabat, sahabat, dan orang-orang di sekelilingku. Aku ingin memastikannya bersamamu sebagai seorang sahabat.” Lanjutnya dengan nada lembut.

“Tapi kau tau, kalau aku tidak akan kembali ke Italia, atau ke Istanbul. Dan banyak momentum dimana kau kebetulan berada didekatku, dan sekarang menyelamatkan sahabatku. Bantahku.

“Semua itu sudah diatur, sudah ada skenarionya. Yang kita mampu hanyalah berusaha, dan meminta untuk hasil terbaik. Hidup ini adalah drama, drama yang kadang menyenangkan, tapi tidak jarang pula menyakitkan. Dalam kepercayaanku, aku tidak mengenal kata ‘kebetulan’. Yang ada adalah ‘takdir’.” Paparnya.

“Tapi Hakan....,” sebelum aku berbicara lebih lanjut, ada seorang suster yang menghampiri kami.

“Maaf mengganggu kenyamanannya, namun apakah kalian yang bertanggung jawab atas pasien benama Nona Linda?” tanya suster tersebut.

“Ya, kami yang bertanggung jawab” sahut Hakan. Hakan menghampiri suster tersebut dan mengikutinya kedalam. Aku masih terpaku di kursi depan klinik. Memandang suasana jalan yang sepi, udara dingin semakin menusuk tubuhku. Tapi, ucapan Hakan tadi jauh lebih membuatku shocked. Pandanganku jauh kosong kedepan, memandang pepohonan yang bergoyang menuruti perintah angin.

“Lisa, maaf. Tapi aku harus pergi, aku ada janji dengan temanku yang sudah menungguku. Tempat tinggalnya hanya beberapa blok dari sini. Kata suster, Linda sudah siuman dari pingsannya. Kau jagalah dia.” Jelas Hakan. Ia nampak sangat terburu-buru sehingga nada bicaranya agak cepat.

“Tunggu Hakan, yang tadi belum selesai” ucapku agar mencegahnya pergi.

Hakan mengisyaratkanku untuk menghubunginya lewat telfon. Aku mengangguk dan segera masuk kedalam. Aku bertanya pada bagian administrasi tentang ruang rawat Linda.

“Okay, grazie.” Ujarku singkat. Wanita itu membalasku dengan senyuman ramahnya.



“Linda...” lirihku didepan jendela ruang rawat jalan. Kulihat Linda masih terbaring disana. Seorang dokter melangkah keluar dari ruangan.

“Dokter, apa yang menyebabkan Linda bisa pingsan?” tanyaku yang mencegahnya untuk berjalan keruang lain.

“Tenang nona, dia hanya kelelahan dan stress ringan. Dalam kurang dari satu jam, dia akan siuman kembali” jelasnya. Aku mengangguk kecil dan ia langsung berjalan keseuatu ruang disebelah ruangan kami.



Setelah hampir setengah jam menunggu disebelah Linda yang terbaring, dan memikirkan apa yang baru saja terjadi denganku dan Hakan, aku termenung. Ingat dengan semua keluarga yang aku tinggalkan di Indonesia. Ya, mungkin karena hubunganku yang agak merenggang, semua masalah yang hadir disini datang mengingatkanku. Aku ingin menelfon Ibu. Menanyakan kabarnya setelah sekian bulan aku berada di Italia.

“Halo.... Ibu?” sapaku dengan rindu.

“Lisa, ini kamu, nak? Kamu apa kabar disana?” balas ibuku dengan sejuta kerinduan yang terpendam.

Kami berdua bercakap disana lumayan lama. Hingga akhirnya Linda siuman dari mimpinya. Matanya masih sayu, badannya masih terkulai lemas, hanya jarinya yang terlihat bergerak kecil mengikuti arah matanya yang terlihat masih bingung. Aku menceritakan semua yang terjadi pada Linda. Ya, semuanya.

Dokter mengatakan kalau Linda sudah boleh pergi selama ia sudah pulih dari kondisinya, tapi direkomendasikan untuk menunggunya selama paling lama tiga jam. Aku memilih untuk tidak mengambil resiko. Aku menemani Linda sambil menonton televisi dan meminum minuman yang tadi kubeli di kedai tempat Linda pingsan. Tentu saja sudah dipanaskan terlebih dahulu. Saat aku tengah mengobrol dengan Linda, HP-ku berdering singkat, sepertinya ada pesan masuk. Kulihat itu dari nomor yang tidak dikenal, tetapi kata pertamanya mengatakan namaku.

Lisa, maaf jika ucapanku menyinggung perasaanmu beberapa detik yang lalu. Ya, walaupun sudah hampir empat jam berlalu, tapi momen itu terasa seperti baru terjadi. Aku hanya ingin kau tau, aku ada sesuatu yang perlu diceritakan saat ini. Tapi tidak sekarang. Aku akan mencari waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya padamu. Ya, semuanya. Aku ingin kamu sabar dan menunggu. Aku janji kalau memang sudah saatnya, aku akan datang kepadamu dan menceritakan semuanya. Ya, semuanya.

Dari sahabatmu,

Hakan Aslan

Aku tidak ingin membalasnya. Biarlah pesan itu tertumpuk oleh waktu. Biar waktu yang akan menjawabnya. Aku tidak ingin mengingat Hakan saat ini, dan mungkin sampai nanti. Aku ingin fokus dengan Linda, kuliahku, dan keluargaku. Aku ingin cerita kepada malam, bersama langit yang indah, bersama bulan, bersama bintang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara menghilangkan password file di WinRAR

Sebelumnya maaf saya baru kembali menulis lagi di blog ini karena saya yang sedang menjalani Ujian Akhir Semester dan hari ini saya akan membagikan tips dan trik cara menghilngkan password file di WinRAR. Siapa yang nggak gelisah dengan file WinRAR yang dipassword? Apalagi kalau password tersebut hanya bisa didapatkan setelah kita menyelesaikan survey yang tersedia di web yang telah ditentukan. Dan survey tersebut juga merepotkan kita yang berada di negara kecil seperti Indonesia. Terkadang survey yang tersedia tidak cukup bervariasi atau bahkan tidak ada survey yang tersedia. Jadi, kita diharuskan memakai VPN dan memilih koneksi ke USA. Terlebih kalau survey yang akan kita selesaikan itu ribet dan akhirnya berujung kepada file password yang tidak terbuka. Sungguh menyebalkan, hehehe. Jadi, saya akan membagi tips dan trik kepada kalian pengguna WinRAR untuk menghilangkan password pada file berbasis WinRAR (.rar). Langsung saja kebawah WinRAR didefinisikan sebagai Pengarsip berbasis W

Sejarah pada masa pra-aksara

Menurut Marwati Djonoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, sejarah alam semesta lebih panjang dibandingkan umat manusia. Manusia pertama kali muncul sekitar zaman Pleistosen (3.000.000 sampai 10.000 tahun lalu) Asal usul Bumi dan mahluk hidup Ilmuwan meyakini Bumi terbentuk pertama kali saat adanya letusan Big Bang sekitar 13,7 milyar tahun yang lalu, ledakan ini menyebarkan material dalam jumlah banyak ke alam semesta lalu membentuk sistem tata surya. Dulu, Bumi berbentuk gumpalan gas panas yang kemudian berevolusi selama 2,5 miyar tahun untuk menjadi seperti sekarang. Menurut ilmu Geologi, proses berkembangnya Bumi melalui 4 tahapan. Yaitu masa Arkaekum, Paleozoikum, Mesozoikum, dan Neozoikum a.        Masa Arkaekum Masa ini terjadi sekitar 2,5 milyar tahun yang lalu. Dimasa ini tidak ada kehidupan karena bumi masih berbentuk bola gas panas yang bersuhu tinggi b.        Masa Paleozoikum Berlangsung sekitar 500-245jt tahun lalu. Kondisi Bumi mula