Hari
berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan. Ini minggu
terakhirku disini. Aku ingin menghabiskannya untuk berkeliling di Venesia untuk
yang terakhir kalinya. Seperti biasa, Linda menemaniku menyusuri kanal yang
indah bersama paman Francesco.
“Zio,
sudah berapa lama menjadi gondoliers?” tanyaku sambil mengabadikan beberapa
foto ditepi kanal.
“Hmm...,
sudah lama. Aku sendiri sudah lupa berapa lama. Yang jelas, sudah lebih dari 20
tahun,” jawabnya sambil tertawa.
“Menjadi
seorang gondoliers adalah sesuatu yang menyenangkan, meskipun ini bukanlah
impian sejatiku. Impianku adalah menjadi seniman. Melukis alam yang indah,
melukis lukisan abstrak, membuat karangan lagu, membuat beberapa kutipan
seperti plato, dan sebagainya.” Jelasnya sambil terus mendayung gondola kami
yang kebetulan sedang sepi penumpang.
“Lantas?”
tanyaku yang masih penasaran menunggu kata ‘tapi’ yang akan terucap.
“Tapi,
tuntutan ekonomi yang mengharuskanku tidak bisa melanjutkan pendidikanku.” Lanjutnya.
Ternyata
masih ada sesorang bernasib kurang beruntung dikota yang seindah ini.
Menurutku, warga-warga kota klasik dengan sedikit gedung pencakar langit adalah
warga yang bernasib indah dan lebih ringan beban tanggungannya. Tetapi, aku
tidak sepenuhnya benar. Takdir sudah menentukan nasib mereka. Huft, hidup ini
memang penuh skenario seperti...., drama!
Aku
teringat dengan perkataan Hakan di klinik saat itu. Aku teringat saat peristiwa
pertama aku bertemu dengannya disini, di gondola tua yang menghiasi kanal kota
Venesia. Aku teringat kembali akan janjinya. Janjinya yang ingin menemuiku saat
waktu yang tepat. Ah! Mungkin itu hanya angin lalu penghibur kesedihan belaka.
Vin, ini aku. Tebak deh, hari ini aku pulang... Yay! Akhirnya aku akan
bertemu kamu, bertemu Yogya, bertemu
semuanya. Aku kangen banget sama kamu. Oiya, aku udah bawa oleh-oleh buat kamu.
Nanti pasti suka! Jam 11 malam nanti mungkin aku udah ada di Soekarno Hatta,
jadi besok pagi kamu bisa ke kos-an aku. Aku sudah di perjalanan menuju bandara
nih, mau siap-siap turun. Bye!
Aku mengirimkan pesan singkat itu ke Vina,
tepat saat aku sudah berada di pintu masuk Bandara Internasional Venice Marcopolo.
Sedih rasanya meninggalkan kota cantik bertabur kenangan indah disini. Tapi,
dalam hitungan jam aku akan kembali kehidupku yang semula. Hidup bersama Vina
di kota yang tidak kalah cantiknya dengan Venesia. Tiba-tiba aku menatap Linda
yang terlihat cantik dengan kaos putih polos, coat abu-abu, syal biru, dan
kacamata hitamnya. Kulihat Linda sedang mengangkat telfon yang sepertinya
sangat penting.
“Sa,
maaf banget aku harus pergi. Profesor Leonardo nelfon aku barusan dan bilang
kalau dosen aku udah nunggu di kampus untuk urusan penting. Kamu bisa kan
nunggu di bandara sendiri?” Ucapnya.
“Iya,
Lin. Nggak apa, kok” jawabku dengan wajah tersenyum padanya.
Aku
menunggu di cafe yang terletak di dalam bandara. Sambil membaca majalah dan
meminum coklat panas kesukaanku. HP-ku berdering singkat. Ada SMS dari Vina
ternyata. Aku tersenyum kecil dan membukanya.
Lisa. Duh, gue kangen banget ama lo tau gak sih?! Bisa nggak kalo
lo kesininya sekarang aja, nemenin gue. Eh iya, di Italy dapet cowok nggak?
Masa udah sekian tahun idup nge-jomblo, sih? Marmut gue aja udah kawin lagi,
nih. Hahaha. Bercanda ya, Sa. Gue kangen ama lo. Cepet pulang ya! Cepet dapet
pacar!
Aku
memasukkan HP-ku kedalam tas. Pandanganku masih menunduk karena posisi tasku
yang memang terletak sejajar dengan kakiku. Saat aku ingin melanjutkan membaca
majalah. Ada seorang pemuda yang tiba-tiba sudah duduk di hadapanku. Entah
kapan dan bagaimana aku tidak menyadarinya.
Aku menjerit kecil, “Hakan?!” ucapku tidak percaya.
“Ini saatnya memberitau semuanya, Lisa.” Ucapnya singkat.
“Dari mana kamu tau aku ada di bandara dan ada didalam
cafe ini?” tanyaku lagi.
“Oldu geçen
edilecek” ucapnya dengan bahasa Turki yang sepertinya tidak asing bagiku.
Oh, itu ucapannya saat dia menolong Linda di San Marino.
“Nggak mungkin. Aku percaya takdir tapi nggak mungkin
berulang sebanyak ini.” Sanggahku.
“Oke, biar aku menjelaskannya, Lisa. Pertama, Linda tidak
pernah bertemu Profesor Leonardo. Kedua...”
“Tunggu, kamu tau dari mana kalau Linda ingin bertemu
Profesor Lom..bar...” ucapanku terheti sebentar. Mataku terbelalak kaget.
Sepertinya aku tau sesuatu.
“Jadi kau dan Linda selama ini berhubungan?” tanyaku.
“Ya.... Begitulah, Lisa. Maaf baru memberitaumu
sekarang.” Jawabnya.
Aku terdiam disini memikirkannya dan tidak bisa berkata
apapun.
“Kedua. Menurutku, menurut pendapatku tidak mungkin ada
seorang lelaki dan perempuan yang bersahabat,” ucapnya.
“Mungkin saja, bahkan sudah menjadi fenomena umum
sekarang. Dan bahkan banyak dari mereka yang memilih untuk berhubungan
ketingkat berikutnya.” Duh, aku tidak bisa mengontrol ucapanku. Aku harap Hakan
tidak tersinggung dengan hal ini.
Hakan tersenyum dan melanjutkan ucapannya. “Lisa, aku
belum selesai bicara. Tidak mungkin ada seorang lelaki dan perempuan yang
bersahabat tanpa ada benih cinta untuk mencintai diantara keduanya.” Lanjutnya.
Wajahku memerah. Aku menundukkan pandanganku, dan melipat
rambut kanan didepan telingaku menjadi kebelakang telinga.
“Lisa, aku ingin terus terang kepadamu. Dalam hidupku,
dalam mazhab cintaku. Aku tidak mengenal kata ‘pacar’. Aku lebih nyaman dengan
menyebutnya sahabat. Tetapi maksudku, aku akan memperlakukannya laiknya aku
mempunyai seorang pacar. Tentu saja dengan batasan tertentu.” Jelas Hakan.
“Jadi...?” tanyaku yang masih meminta kejelasan darinya.
“Jadi kau, Lisa Adrianna. Boleh mengatakan padaku kalau
aku ini pacarmu atau kekasihmu. Tapi aku akan menyebutmu sebagai sahabatku.
Salah satu orang spesial dalam hidupku.” Jelasnya lagi.
Tubuhku serasa seringan kapas saat ini. Mungkin ini yang
rasanya cinta. Dulu saat SMA, aku berpacaran hanya karena ingin untuk tidak diledek
Vina. Satu atau dua hari sudah putus lagi. Hanya sekadar SMS beberapa kali,
setelah itu bosan dan mencari lagi yang baru. Segala rayuan dan gombalan mereka dulu tidak se-dahsyat
ucapan Hakan sekarang.
Aku
menarik nafas panjang, masih tidak percaya kalau hari ini benar-benar terjadi.
Aku jadi ingin meminum coklat panasku. Ah sial! Masih terlalu panas. Aku dibuat
tersedak karenanya. Hakan hanya tertawa kecil melihat tingkah konyolku ini. Ah,
aku jadi terlihat bodoh didepannya.
Aku menghabiskan beberapa jam terakhirku dibandara
bersama Hakan. Duduk berjam-jam di cafe itu tanpa bosan. Meskipun kami sering
kehabisan topik karena aku bukanlah pembicara yang baik jika sedang terlalu
senang atau terlalu sedih.
“Panggilan kepada
calon penumpang tujuan Jakarta...”
Duh, aku ingin sekali bersama Hakan saat ini. Tapi aku
harus segera menuju lounge bandara. Jika waktu ini bisa dibeli, aku akan
membelinya beberapa jam lagi untuk berbicara dengan Hakan. Ia-pun sudah
mengisyaratkan kepadaku untuk mendengarkan pengumuman ini.
Kami berjalan ke pintu keluar cafe. Setelah beberapa
langkah meninggalkan cafe, Hakan memberitauku suatu hal.
“Lisa, aku lupa sesuatu.” Ucapnya memecah kesunyian
percakapan kami.
“Apa itu?” tanyaku.
“Ingat ucapanku di klinik saat itu: ‘kau seperti boneka
manequin yang terpajang di toko-toko di Milan, atau Paris, atau Istanbul.’?”
“Hmmm..., ya sekarang aku ingat. Saat itu kau meledekku
karena memakai jaket dobel, kan?” tanyaku lagi.
“Ya, tapi aku akan
memberitaumu sesuatu. Kalau..., aku bersungguh-sungguh ingin mengajakmu
berkeliling di tiga kota tersebut. Aku ada teman yang akan kuperkenalkan
padamu, seorang teman yang tidak akan pernah kamu duga sebelumnya.” Jawab
Hakan.
Aku laiknya anak kecil yang menerima hadiah permen, atau
mainan kesukaannya. Aku menubruk tubuh Hakan dan memeluknya erat. Tapi tangan
hakan tidak membalas pelukanku, justru ia melangkah kebelakang.
“Lisa, maaf tapi aku tidak biasa dipeluk. Apalagi oleh
seorang perempuan kecuali Ibuku. Rasanya itu..., aneh.” Ucapnya.
“Aku juga tidak biasa memeluk lelaki. Terakhir aku
dipeluk lelaki adalah oleh ayahku sebelum aku berangkat ke Yogya. Tapi aku
biasa memeluk Vina, satu-satunya sahabatku di Yogyakarta.” Jelasku.
Panggilan terakhir sudah diumumkan. Aku harus bergegas menuju lounge bandara.
“Hakan, aku minta maaf tapi aku harus pergi sekarang. Aku
mungkin akan merindukanmu. Tapi kita akan terus stay in line, kan?” tanyaku memastikan.
“Ya. Kau bisa meng-SMS ku kapan saja.” Jawabnya singkat.
“Satu tahun lagi. Aku tunggu kau di Milan.” Lanjutnya.
“Aku tidak akan menunggu Hakan. Biar waktu yang
menunggumu.” Ucapku yang mengakhiri pembicaraan kami. Aku melihat senyuman
Hakan untuk yang terakhir kalinya, setidaknya untuk waktu yang lama. Aku
melangkahkan kakiku beranjak meninggalkan Hakan dan beranjak menuju ruang
pemeriksaan sebelum menuju lounge.
“Tidak
terasa enam bulan yang berarti ini telah berlalu, rasanya ingin mengulanginya
lagi dari awal.” Gumamku didalam burung besi yang sudah mengudara dan akan
mengantarkanku pulang ke Indonesia. Betapa banyak peristiwa yang terjadi
disini, betapa banyak kenangan yang tercipta, rindu yang sudah terbalaskan,
mimpi yang terwujud. Semua menjadi satu didalam sebuah cerita. Biarlah Venesia
menjadi tempat menampung ceritaku, bersama langit yang indah, bersama bulan,
bersama bintang.
Finn.
Finn.
Komentar
Posting Komentar