“KRRIIING....
KRRIIING...!!” bel dikelas dua kali berbunyi, tanda jadwalku sudah selesai. Aku
lihat Hakan sedang merapikan bukunya. Astaga! Aku lupa memberi kabar ke Linda.
Aku melihat jam tanganku, tepat pukul 2. Aku teringat ucapan Hakan di surat
yang dikirimnya malam itu. Aku segera memberitau Linda untuk tidak menungguku.
Saat aku sudah mengirim SMS kepada Linda, aku menoleh kebelakang, Hakan sudah
pergi! Huft, lagi-lagi dia memakai ‘ilmu kilatnya’. Aku bergegas ke lorong,
kulihat dia sudah menuruni tangga menuju kebawah. Kali ini aku tidak mau
berlari, karena memang aku tidak bisa. Kakiku masih agak sakit karena peristiwa tadi
pagi.
Bagaimanapun,
aku tidak bisa menyusul Hakan. Hanya bisa bergegas, berharap ia berhenti
sebentar atau memperlambat langkahnya yang panjang. Dibawah, aku lihat dia
sedang menggoyangkan ponselnya. Mungkin sedang mencari signal. Tiba-tiba
langkahnya terhenti sambil tetap memandangi layar smartphonenya. Syukurlah, aku
bisa menghampirinya. Saat jarak kami hanya tinggal beberapa langkah, kulihat
Hakan tiba-tiba berjalan lagi. Kali ini beda, jalannya agak cepat. Sepertinya
dia sedang terburu-buru. “Hakan!” Aku memberanikan diri memanggilnya. Apa daya,
dia tidak menggubrisnya, atau mungkin memang tidak kedengaran?
“Hakan!
Hakan! Tunggu sebentar!” seruku memanggilnya lagi, kali ini aku mengeraskan
suaraku. Tetapi dia tetap tidak mau menoleh. Beruntung, seorang wanita Italia
yang berpapasan dengannya memberitau kalau ada yang mencarinya. Kena!
“Hakan, kenapa daritadi kupanggil tidak merespon?”
tanyaku dengan nada agak ketus.
Sepertinya
Hakan sedang berfikir, atau mungkin melamun. Tetapi sesaat kemudian dia
menjawab, “Oh.., oh.., iya.. Hmm.., aku sedang dicari oleh seseorang tadi”
sahutnya
“Katamu,
kau ingin menemuiku di cafe jam 3?” tanyaku mengingatkan.
“Oh..,
itu. Iya, iya. Ayo, kita kesana sekarang.” Jawabnya agak gugup.
Kenapa
Hakan gugup? Tadi ia mencari signal, tidak menggubris panggilanku, dan gugup
saat ditanya. Apa dia ditelfon oleh setan? Atau..., dia sedang berkomunikasi
dengan wanita lain? Ah! Pikiranku ini mulai gila. Siapa peduli! Kenapa aku
harus berfikir seperti itu, banyak hal lain yang masih bisa untuk difikirkan.
Apa aku mulai cemburu?
Suasana
cafe yang terletak di tepi kanal itu terbilang sepi. Biasanya akan ramai satu
jam lagi. Kami memanfaatkan momentum ini dengan duduk di tepi kanal. Menikmati
aktifitas lalu lintas baik di via
tersebut, maupun di kanal yang ada disamping kami. Aku memesan Latté dengan ekstra creamer, sementara
Hakan memesan Cappucino untuk ‘teman ngobrol’ kita sore ini.
“Jadi,
apa yang mau kamu bicarakan, Hakan?” tanyaku membuka pembicaraan.
“Ya...,
iseng aja. Siapa tau ada yang mau men-traktir makanan” sahut Hakan sambil
menyeruput minumannya sedikit.
“Kalau
begitu jangan ajak aku, ajak saja pacarmu kemari.” Ledekku. Duh, aku kelepasan
bicaranya. Semoga saja Hakan tidak tersinggung soal ini.
“Sayangnya,
aku belum pernah mempunyai pacar.” Tukasnya.
Saat
ucapan tersebut keluar dari mulutnya, entah kenapa, perasaanku seperti terbang
ke angkasa. Berhembus bersama angin panas dari kawasan Afrika, menyatu dengan
gelombang laut Mediterania yang hangat. Lepas.
Aku
teringat dengan suratnya yang dikirim bersama kameraku, dan teringat juga kejadian
saat lambungku terasa sakit. Aku lupa memberi tau asalku. Dan aku teringat
ucapannya saat diruang tata usaha, kurasa semua itu berhubungan.
Tidak ada sesuatu yang kebetulan,
kan?
Aku menceritakan
semuanya pada Hakan. Dia terlihat mendengarkanku baik-baik. Tatapan matanya
yang tajam membuatku tak bisa terlalu lama menatapnya, atau aku akan gugup. Dua
jam aku bicara bersama Hakan di cafe itu, dan tak terhitung jumlah manusia yang
berlalu-lalang disekitar kami. Sore itu, tak terasa matahari ternyata sudah
ingin kembali ke peraduannya. Rembulan sudah bersiap di tempatnya,
menggantikannya sampai fajar tiba.
Hakan
membuyarkan lamunanku, ia ingin pamit pulang ternyata. Aku melihat langit, rupanya
sudah semakin gelap. Aku juga beranjak dari kursiku, dan berpisah dengannya.
Aku bergegas pulang, khawatir Linda sudah menungguku di apartemennya. Huft,
hari yang menyenangkan. Aku serasa menjadi anak SMA kembali. Masa-masa dulu
bersaing dengan Vina dalam hal jumlah mantan. Aku tidak pernah bisa menyaingi
Vina, karena memang dia lebih eksis disekolah. Tanpa sadar, aku tersenyum
sendiri mengingatnya.
Sesampainya
di apartemen, ternyata Linda sudah memasak makan malam untuk kami berdua. Duh,
aku merasa bersalah karena tidak membantunya. Semua masakan sudah siap, hanya menunggu
dihidangkan. Badanku terasa penat. Aku ingin mandi sebentar, lalu merebahkan
tubuhku beberapa menit saja. Sudah pukul 6 sore, gumamku. Untung jadwalku hanya
3 hari sekali. Lumayan dua hari jeda, bisa untuk pergi keliling Venesia, atau
melakukan hal lain. Seperti, jalan dengan Linda, jalan dengan Hakan.... Ah!
Pikir apa aku ini. Pikiranku semakin gila.
Ada apa denganku?
“Hei,
bangun! Lisa!” seru Linda membangunkanku.
“Mmhhh...
Iya, Vin. Sebentar lagi” racauku.
“Vin..?
Vin, siapa? Lisa, bangun!!” nada suara Linda mulai meninggi.
Akhirnya
aku bangun. Aku terkejut, aku pikir aku tertidur cukup lama. “Astaga, Linda.
Sekarang jam berapa? Apa ini sudah besok?” tanyaku bernada panik.
“Ini
sudah lusa, malahan.” Ujarnya mengundang canda. Sepertinya ia sedang menahan
ketawa. Aku lantas mengambil HP-ku, dan kulihat ini masih hari ini. Tetapi,
sudah pukul 8 malam. Aku tertidur selama dua jam.
“Iih...,
pembohong! Oiya, kau sudah makan?” tanyaku pada Linda.
“Iya,”
jawabnya singkat. “Sekarang giliran kamu makan, gih. Nanti sakit.”
“Oke.”
Aku mengacungkan jari telunjukku yang kusatukan dengan ibu jari dan membentuk
lingkaran. Linda memasak sup ayam, dengan daging panggang rupanya. Hmmm,
sepertinya lezat. Aku langsung menyantapnya, menghabiskannya, tanpa sisa. Ya,
mungkin karena aku lapar dan porsinya tidak terlalu banyak. Tiba-tiba aku
teringat satu hal. Kenapa tadi aku tidak membicarakan foto yang dihapusnya itu?
Tapi, melihat wajahnya secara langsung itu lebih baik. Lagipula, aku sekelas
dengan Hakan.
Malam
itu, terasa sepi. Linda sudah terbaring lelap disampingku. Lantas aku teringat
dengan Vina. Tapi, ini baru beberapa hari disini. Aku tidak mau menghubunginya
terus menerus. Biarlah rindu kami terpelihara. Supaya saat jumpa, kami bisa
melepas itu bersama. Biarlah Venesia menjadi tempat menampung rinduku, bersama
langit yang indah, bersama bulan, bersama bintang.
Komentar
Posting Komentar