“TRRRT....TRRRT.....!”
HP-ku bergetar dua kali. Aku melihatnya, ternyata 2 miss call dan sebuah SMS
dari Linda. Mungkin karena aku belum sampai di apartemennya sehingga dia
mengkhawatirkanku. Aku membuka pesannya, dan membacanya.
“Ciao, Lisa. Kau dimana? Hari sudah hampir gelap. Apa kau tersesat?.
Oiya, barusan pamanku menitipkan sesuatu kepadaku. Ia bilang sesuatu itu
diberikan oleh orang asing yang perawakannya seperti orang timur tengah. Ia
bilang sesuatu ini untukmu. Apa kau sudah pernah membuat kesepakatan khusus
pada orang itu?”
Sesuatu?
Orang Timur Tengah? Aku semakin khawatir. Aku mempercepat langkahku menuju
apartemen. Aku takut ada sesuatu terjadi pada Linda dan Paman Francesco. Ya,
walaupun tempat tinggal mereka tidak saling berdekatan. Oh, aku hampir lupa
membalas SMS Linda. Memberitau kalau aku sudah membacanya
“Grazie, Linda. Aku sedang menikmati suasana Venesia di pasar makanan
tempatku turun dari gondola tadi. Aku sedang mengarah pulang ke apartemen, kok.
Maaf telah membuatmu khawatir, aku segera kesana.”
Aku
pun sampai di apartemen, aku buru-buru naik lift dan menemui Linda. Aku
mengetuk pintu, lalu munculah perempuan berparas cantik dengan rambut ikal yang
diikat kebelakang. Memberi senyuman sambutannya yang hangat kepadaku.
“Masuk,
Lisa.” Sapanya dengan hangat. “Kemana saja kau seharian? Aku mengkhawatirkanmu.
Tadi Profesor Tris menelpon, katanya jadwalmu dimulai besok. Tadi aku sudah
mengurus segala urusan administrasimu. Dan kau, hanya tinggal berdiri didepan
kelas, memperkenalkan diri, dan memulai pendidikan barumu.” Papar Linda
“Terima
kasih banyak, Lin. Maaf jika merepotkan.” sahutku. “Aku dengar kau dititipkan
sebuah barang, kan?” tanyaku
“Oh,
barang itu. Kuletakkan disamping kopermu, supaya kau lebih mudah melihatnya.
Kelihatannya itu barang penting. Dan? Bagaimana bisa? Seseorang mengenal
pamanku dan kau secara bersamaan?” Tanyanya penuh kebingungan
“Aku
akan coba buka kotaknya dulu, Lin. Siapa tau, ada surat penjelasannya.” Ujarku
seraya mengambil kotak tersebut dan membukanya. Dan benar saja, didalamnya ada
sepucuk surat bersama...., Kameraku! “Hakan! Ya, pasti dia!” Seruku dalam hati.
Kubaca surat yang tersimpan didalamnya.
“Lisa,
kau tidak apa?” tanya Linda.
“Aku
tidak apa. Tadi kameraku tidak sengaja terbawa oleh seseorang. Seseorang yang
tidak sengaja aku foto saat di gondola pamanmu tadi sore. Sekarang dia
mengembalikan kameraku.” Paparku padanya.
“Lisa? Mudah-mudahan suatu keputusan tepat menitipkan kameramu kepada
paman Francesco. Aku sering naik gondolanya, jadi aku memutuskan untuk
menitipkannya padanya. Kalau paman Francesco tidak mengenaliku, tidak apa,
faktor ‘U’ mungkin jadi penyebabnya. Hehehehe. Maaf bila aku tidak sengaja
membawanya, aku lupa dan kaupun lupa. Jika besok tidak sibuk, aku ada di kedai
Polvere di Caffè pukul 3 sore. 2 blok kekanan dari tempatmu makan, dekat kanal.
Hakan Aslan
Aku
mengecek kameraku, mungkin ada foto-foto yang hilang. Aku menekan tombol
storage. Dan, hilang! Foto terakhirku adalah wajahnya. Tapi sekarang sudah
hilang, dan hanya itu yang dihapusnya. Aku mengecek semua foto, tidak ada yang
diubah atau dihapus sama sekali. Ada apa? Dia bilang dia suka fotonya. Tapi
mengapa ia menghapusnya? Ditambah lagi, tidak sopan bila ia menghapusnya tanpa
seizinku. Aku bingung, benar-benar bingung. Aku harus menemuinya besok. Ya,
harus.
Linda
mengajakku makan malam saat itu, membuyarkan lamunanku tentang Hakan. “Sa, yuk,
makan. Kamu mau puasa seharian? Atau kamu lagi program diet ya? Hahaha” ledeknya
diiringi tertawa renyah yang menunjukkan bibir manisnya.
“Oke,
oke. Hahaha, enak saja! Aku kan sudah kurus, Lin. Mau jadi apa aku nanti kalau
diet? Hehe. Oiya, menu apa hari ini, ‘Mom’?” Aku membalasnya juga dengan
ledekan dengan senyum tipis.
“Lagian,
kamu ngelamun aja. Mikirin siapa, sih? Kuliah, belum. Keluarga, baru sehari
juga sudah kangen? Oooh, pacarmu di Jogja, ya?” tanyanya
“Iiiiih,
bukan!” Seruku sambil menggembungkan pipiku dan membulatkan mataku. Pertama,
jangan sok tau, aku ini belum punya pacar atau apapun itu. Kedua, tadi kamu
bilang ‘Jogja’? Namanya ‘Yogya’, Yogyakarta, bukan Jogjakarta.” Lanjutku.
“Iya, deh, iya. Yaudah, yuk temenin aku
masak,” ajak Linda.
“Temenin,
kan? Nggak bantuin. Hehe”
“Boleh
aja, tapi kamu gausah makan nanti.”
Sungguh,
Linda ini mirip Vina. Baru satu hari kenal, sudah serasa akrab. Aku bersyukur,
Venesia serasa rumah bagiku. Suasanya yang tenang, klasik laiknya Yogyakarta,
dan ditambah lagi Linda yang sifatnya mirip dengan Vina.
Pagi
itu, aku segera bangkit dari tempat tidur. Aku lihat Linda sedang berdiri di
tepi balkonnya, menikmati indahnya pagi di Venesia. Aku membuka pintu yang
menjadi pemisah antara balkon dan ruangan apartemen. Dan, wow! Venesia sudah
lumayan ramai diluar sana. Aku melihat jam tanganku, menunjukkan pukul 7.
“Lin,
jadwalku dimulai jam berapa?” tanyaku yang masih setengah mengantuk
“Astaga!
Jam berapa sekarang? Jadwalmu dimulai jam 9” seru Linda. “Maaf, aku kelupaan,
malah bengong disini.” Lanjutnya dengan nada panik.
“Sekarang
jam 7, berarti 2 jam lagi” sahutku.
Hening.
“Oke,
aku mandi duluan ya” ujarku. Jujur aku agak malas hari ini. Hari yang
seharusnya kugunakan untuk jalan pagi, bersantai, tapi jadwal perdanaku ada
pada hari ini. Tapi, aku juga harus ingat kalau aku disini mendapatkan beasiswa.
Tidak bisa kusia-siakan dengan bermalas-malasan.
Selesai
kami mandi, aku mempersiapkan semuanya. Dan kami berdua turun untuk sarapan di
kedai samping apartemen. Aku dan Linda hanya pesan Pepperoni, karena kami
buru-buru. Aku dan Linda bergegas karena ke kampus dengan berjalan kaki, dan
aku juga harus melapor kepada pengurus administrasi dan tata usaha kalau aku
adalah mahasiswa baru. Ya, walaupun itu sudah pernah diurus Linda sebelumnya.
Pukul
8.30, aku sampai di gerbang kampusku, “Hmm..., 30 menit lagi. Apa kita
terlambat?” tanyaku.
“Syukurlah,
kita nggak terlambat.” Sahut Linda. “Yaudah nanti setelah masuk bangunan utama,
kau belok kanan, 2 ruangan disebelah kanan. Itu ruangan tata usaha. Kau akan
diberi jadwal dan ditunjukkan dimana kelasmu” jelas Linda, jari-jarinya
menari-nari sebagai isyarat petunjuk untukku.
“Kau
bagaimana?” tanyaku.
“Aku
dikelas sastra. Nanti saat pulang, jika kau mau aku menunggumu, aku akan tunggu
disini. Nanti kabari aku, oke?”
“Okay, mom! Hahaha.” Kami tertawa sejenak.
Ibu jariku kuacungkan padanya, tanda mengerti.
Aku
melangkahkan kakiku masuk ke kampus ini, dan berjalan menuju ruang tata usaha.
Aku mengetuk pintu, dan mulai masuk kedalam. “Permisi, selamat pagi. Apa benar
ini ruang tata usaha?” tanyaku pada seseorang pegawai dengan bahasa Italia
“Ya,
benar. Kau murid baru itu, ya?” tanyanya sambil mengelus kumis panjangnya yang
lebat dan tertata rapi. “Kau masuk saja keruang itu.” Dia menunjuk salah satu
ruangan disudut ruangan. Aku mengangguk dan berjalan kesana.
“Permisi,
selamat pagi, madam. Apa aku bisa....,”. Sebelum aku menyelesaikan ucapanku,
sebuah telunjuk langsung mengarah tegak kedepan wajahku. Ternyata dia sedang
menelpon. Sepertinya penting, dia tidak ingin diganggu dan bicara dengan nada
yang cepat. Aku sendiri tidak terlalu paham apa yang diucapkannya. Setelah 2
menit menunggu, dia mulai bicara.
“Maaf,
tadi ada urusan sebentar. Aaah..., kau murid baru itu ya?” tanyanya dengan nada
bersahabat.
“Ya,
benar, madam. Bisa aku meminta jadwal kuliahku dan letak ruang kelasku.”
“Tunggu,
sebentar. Oke?”. Lalu dia mencari jadwal itu di lemari sambil bergumam kecil.
Mungkin lupa menaruhnya dimana.
Tiba-tiba
ada seorang pemuda yang masuk ke ruangan
“Permisi,
madam” ucapnya.
“Ya...
Sebentar, aku sedang mencarikan jadwal untuknya”
Aku
menoleh padanya. “Hakan? Kamu ngapain ada disini?” tanyaku setengah terkejut.
“Kamu
masih ada hutang penjelasan padaku mengenai asalmu,” tegas Hakan. Lalu ia pergi
begitu saja dari hadapanku. Saat aku dapat jadwalku, aku bertanya dimana letak
kelasku. Dia bilang cukup ikuti pemuda itu.
Hakan
terlampau jauh dariku, aku harus mengejarnya agak cepat agar bisa meraihnya.
“Jalan cepet banget! Pakai ilmu apa sih dia?” keluhku. Aku berlari menyusuri
lorong, belok ke kiri, dan mengejarnya menaiki tangga. Aku enggan memanggil
namanya karena malu dengan orang-orang disekitarku. Sedikit lagi. Saat aku
mencapai ujung anak tangga, tiba-tiba...,
“BRRUKK!!!”.
Aku tersandung oleh anak tangga yang terakhir. Membuatku jatuh tersungkur.
Hakan yang beberapa langkah didepanku, menoleh kebelakang. Dan terkejut
melihatku terjatuh, lalu menghampiriku. Untung sepi. Hanya ada beberapa orang
diujung lorong.
“Kamu
nggak apa, kan?” ujarnya sambil berjalan kearahku dengan wajah cemas.
Aku
agak tersipu dibuatnya.
“Kamu
bener nggak apa, kan?” Ujarnya lagi. Tetapi saat ia sudah dekat denganku, dia
tidak memperlambat langkahnya. Dia justru berjalan kebelakangku, lalu menuruni
2 buah anak tangga.
“Duh,
kasian dia ini. Terbentur kaki.” ujarnya sambil melihat kearah anak tangga yang
membuatku terjatuh.
Aku
hanya bisa melongo dibuatnya.
“Dasar
orang gila!!” seruku dengan nada agak tinggi. Aku bergegas bangun dan mencoba
berjalan. “Ouch!” Aku mengerang kesakitan. Hakan segera bangkit dan akhirnya
memapahku.
“Makanya
kalau jalan itu pakai matamu...,” ujarnya. “Oiya, ini kelasmu.” Dia menunjuk
suatu ruangan tidak jauh dari tempat UKS
“Dimana-mana
jalan pakai kaki, bukan pakai mata!” Bantahku dengan nada yang masih kesal
padanya. Dia hanya menggelengkan kepala dan tersenyum. Beruntung, dilantai yang
sama, ada ruang UKS. Aku langsung dilarikan kesana. Lalu Hakan segera masuk ke
kelasnya, karena kelas dimulai 15 menit lagi.
“Kau
sudah boleh kembali ke kelas sekarang,” kata penjaga UKS.
“Grazie, madam.” Aku mulai melangkahkan
pelan kakiku kedalam kelas.
Ternyata
dosen baru masuk kelas, tepat saat aku masuk kedalam kelas. “Aaaah..., Lisa.
Indonesia, benar?”
“Iya,
benar. Profesor....,?” tanyaku yang bermaksud untuk menanyakan namanya.
“Leonardo.”
Ucapnya singkat.
“Aaah....,
capisco. Aku mengerti. Silakan,
Prof...,” ujarku mempersilakannya masuk duluan. Didalam kelas aku diperintahkan
untuk memperkenalkan diriku kepada mahasiswa lain, dan kelaspun dimulai.
“KRIIING...!!”
bel istirahat dibunyikan. Kulihat teman sebelahku, Laura, sedang membereskan
bukunya dan bersiap keluar.
“Kau
tidak keluar kelas, Lisa? Ayo keluar sebentar” ajaknya.
Aku
melihat sekeliling. Dan kudapati Hakan sedang asyik membaca bukunya di sudut
ruangan. Aku mengurungkan niatku untuk ikut Laura. “Kau duluan saja, Laura.
Mungkin nanti aku menyusul.” Ujarku tersenyum padanya. Kini, dikelas hanya
tinggal bertiga. Aku, Hakan, dan seorang mahasiswa yang sedang tertidur di
bangku bagian depan. Entah kenapa, mungkin kurang tidur. Ah! Peduli apa aku?
Aku
mendekati Hakan yang masih fokus membaca bukunya. Aku berdehem kecil untuk
memecah suasana yang hening.
“Kita
sekelas?” tanyaku tidak percaya.
“Ya,
sepertinya begitu” jawabnya singkat.
“Buku
novel?” tanyaku membuka topik pembicaaran baru.
“Sen ne meraklimissin yaav,” dia menjawabnya dengan Bahasa Turki
yang sama sekali tidak aku mengerti.
“Bahasa
Turki, atau Rusia?” tanyaku bingung.
“Hehe,
Turki.” Jawabnya singkat.
“Artinya?” tanyaku lagi.
“Kamu kepo banget, sih. Hehe” ucapnya
diselingi dengan tawa renyahnya.
“Iih...,
aku serius, tau!”
“Iya,
memang artinya itu, yang tadi kukatakan. Hahaha” jelasnya sambil tertawa. “Iya,
ini novel. Lagi iseng baca aja.” Lanjutnya.
Sekilas
aku baca halamannya, agaknya novel berbau hal romantis. Aku melihat tulisan
berdecak miring dibagian bawahnya, tapi tidak begitu sempurna kelihatannya. Tulisan
itu berkata, “Cinta yang cepat lahir,
maka....”. Ah! Terhalang oleh tangan Hakan. Aku masih canggung untuk
meminta izin kepadanya. Aku lihat dia kembali tenggelam dengan novelnya. Aku
tau, orang yang sedang membaca buku tidak mau diganggu. Bila ia benar-benar
membacanya. Jadi, aku memutuskan untuk pergi keluar kelas.
Komentar
Posting Komentar